Harus lebih berhati-hati. Pasalnya, saat ini pemerintah telah mewacanakan hukuman pidana bagi pihak-pihak yang mengajak untuk tidak memilih dalam pemilu (golput). Menurutnya, mengajak seseorang untuk golput merupakan tindakan untuk mengacaukan pemilu. Bagi pengacau pemilu, akan diberikan sanksi karena sudah membuat kekacauan dan ketidaktertiban. Benarkah demikian?
Memang tidak bisa dipungkiri, tren golput selalu mewarnai jelang pemilu. Mengapa kelompok ini selalu ada? Selain tidak memilih (golput) merupakan hak, masyarakat juga mulai jenuh terhadap ajang pemilu yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali ini. Pemilu yang sedari dulu dilakukan untuk memilih pemimpin, nyatanya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Tak kunjung ada perubahan yang pasti.
Bahkan, tidak sedikit pemimpin yang dipilih pun tidak menepati janjinya saat kampanye. Akhirnya, masyarakat mempunyai anggapan bahwa, memilih ataupun golput sama saja.
Golput merupakan salah satu reaksi dari sikap kritis masyarakat. Kini masyarakat mulai cerdas, karena mereka kerap menjadi korban ketidakadilan penguasa, rakyat menderita akibat kebijakan-kebijakan penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat.
Tentu hal ini tidak akan terjadi jika penguasa mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Penguasa yang senantiasa berpihak kepada rakyat. Memberikan pelayanan terbaik untuk kesejahteraan rakyat. Serta membuat kebijakan yang tidak menyengsarakan.
Namun, pada faktanya justru tidak. Pemimpin adil dan amanah tidak akan pernah didapatkan. Karena pemimpin yang menjadi harapan rakyat adalah pemimpin yang menerapkan sistem yang benar. Pemimpin yang mampu menjadikan Islam sebagai landasan dalam setiap menjalankan roda pemerintahan. Dengan begitu, kesejahteraan rakyat terjamin dan tidak akan ada kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Pengirim: Novia Listiani, Metro, Lampung