Senin 25 Mar 2019 19:44 WIB

Karhutla dan Evaluasi Pendidikan Kita

Dalam tradisi Masyarakat Sakai (Bengkalis) hutan merupakan jati diri

Petugas Pemadam Kebakaran Kota Pekanbaru berusaha memadamkan api yang membakar semak belukar dan pepohonan ketika terjadi kebakaran lahan gambut di Pekanbaru, Riau, Senin (25/3/2019).
Foto: Antara/Rony Muharrman
Petugas Pemadam Kebakaran Kota Pekanbaru berusaha memadamkan api yang membakar semak belukar dan pepohonan ketika terjadi kebakaran lahan gambut di Pekanbaru, Riau, Senin (25/3/2019).

Terhitung sejak 19 Februari, Riau berstatus siaga darurat Karhutla. Status ini diperkirakan berlangsung hingga 8 bulan ke depan. Sudah ribuan warga yang berada di pesisir Provinsi Riau sakit akibat polusi udara asap Karhutla.

Kebakaran lahan gambut terus membara, terutama di daerah pesisir. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau menyatakan Karhutla terjadi sejak Januari hingga Februari 2019, luasnya sudah mencapai 1.136 hektare.

Baca Juga

Hutan hakikatnya adalah investasi alam yang terbaik. Tempat di mana berbagai komponen ekosistem tumbuh dan berkembang. Sayangnya, justru dijadikan sebagai komoditas sehingga dimanfaatkan secara terus-menerus.

Tanpa ada niat untuk mengembalikan fungsi hutan yang sebenarnya. Dalam tradisi masyarakat Sakai (Kabupaten Bengkalis, Riau) hutan merupakan jati diri. Menjual hutan atau tanah ulayat merupakan perilaku yang memalukan dan dikutuk oleh adat. Jika ada anak kemenakan yang menjual tanah ulayat, maka sumpah tersebut akan terjadi padanya.

Bertentangan dengan fitrahnya hutan dan adat setempat. Kerusakan hutan kini semakin masif.

Menurut Catatan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (JIKALAHARI), proses deforestasi dan degradasi hutan alam di Provinsi Riau berlangsung sangat cepat. Kurun waktu 24 tahun (1982-2005), Provinsi Riau sudah kehilangan tutupan hutan alam seluas 3,7 juta hektare, dengan rata-rata laju kehilangan sebanyak 160 ribu hektare/tahun.

Bahkan hasil penelitian dari Aid Environment memprediksi hutan di Riau akan habis pada tahun 2032. Kerugian di balik angka-angka tersebut tentu sangat besar, lebih-lebih kalau dikaitkan dengan terputusnya berbagai interaksi di ekosistem hutan tersebut.

Selain itu JIKALAHARI mengungkapkan ada puluhan titik panas yang jadi indikasi awal kebakaran hutan dan lahan, berada di 13 areal perusahaan industri kehutanan dan kelapa sawit di Provinsi Riau selama periode 11-17 Februari 2019. Titik panas terkonsentrasi di daerah pesisir Riau seperti di Kabupaten Bengkalis, Dumai, Kepulauan Meranti dan Pelalawan.

Menurut Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK, Raffles B Panjaitan menyebutkan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi saat ini di Riau terjadi akibat ulah tangan manusia. Pasalnya, untuk di Indonesia terutama di Riau, tidak ada lahan dan tanaman yang dapat terbakar sendiri.

Sekering apa pun itu hanya satu persen yang bisa terbakar karena alam. Apalagi Riau berbeda dengan Australia dan daerah lainnya yang tanamannya mengandung minyak.

Berulangnya Karhutla ini menunjukkan bahwa berbagai program pencegahan dan penanggulangan yang dijalankan telah gagal dan sia-sia belaka. Semua ini berawal dari pengelolaan lahan dan hutan gambut yang dilandaskan pada pandangan sekuler, yakni adanya hak konsesi.

Selain itu juga diadopsinya agenda hegemoni climate change. Di mana salah satu poin untuk mengantisipasi perubahan iklim global adalah dengan mengganti bahan bakar fosil dengan biofuel. Yakni pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang berasal dari minyak sawit sebagai penghasil bioetanol pengganti Premium. Biofuel ini dinilai lebih ramah lingkungan.

Namun membuka lahan dengan membakar tentu juga tidak benar. Ini bisa memicu pemanasan global. Ingin menghasilkan sawit sebagai biofuel dengan deforestasi secara masif bukanlah langkah bijak. Hutan dan lahan gambut harus tetap difungsikan dengan paradigma yang benar. Kebijakan EBT untuk menyelamatkan bumi juga harus didudukkan dengan bijak. 

Karhutla yang berulang ini tentu saja membuat hati bersedih. Tak adakah lagi manusia yang bervisi jauh ke depan untuk melindungi bumi? Bukankah Allah menciptakan kita sebagai khalifah fil ard?

Saya teringat dengan materi parenting berbasis akidah islam. Bahwa tujuan kita mendidik anak adalah agar menjadi hamba Allah yang tunduk, patuh terhadap segala perintah dan larangan Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Adz Dzariyat ayat 56. "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku".

Tak cukup hanya itu tapi juga untuk menjadikan anak kita khalifah fil ard, Penjaga bumi agar tetap terpelihara dan makmur. Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Al-Baqarah: 30).

Pernahkan kita mengajarkan anak kita agar membuang sampah pada tempatnya? Pernahkah kita mengajak anak kita berkebun, menanam tumbuhan dan merawatnya? Pernahkan kita mengajak anak kita berfikir bahwasanya pohon adalah ciptaan Allah? Pernahkah kita jelaskan bahwa  Allah menciptakan pohon adalah karena sayangnya kepada manusia? Agar manusia bisa merasa teduh, bisa bernafas dengan udara bersih, dan terhindar dari banjir.

Ketika belajar geografi, pelajaran apa yang kita berikan? Apakah hanya sekedar hafalan propinsi dan ibu kotanya? Alangkah baiknya jika kita kenalkan potensi alam di daerahnya. Bagaimana menjaga dan memanfaatkannya untuk umat. Kenalkan juga hadist bahwa Kaum muslim berserikat dalam tiga hal yakni air, padang rumput dan api.

Artinya air, padang rumput (termasuk hutan), dan api (gas dan minyak bumi) adalah milik umat. Tidak boleh dikuasai oleh seseorang atau perusahaan apalagi perusahaan asing. Negara harus mengelolanya dengan baik dan hasilnya untuk kemaslahatan umat. Bukan untuk diserahkan kepada swasta lalu dibakar untuk kepentingan bisnis dan industri perusahaan. 

Akhirnya, kita memang harus mengevalusi pendidikan yang kita berikan kepada anak. sudahkah kita ajarkan anak untuk mencintai lingkungan dan menjaganya karena dorongan aqidah? Sudahkah anak kita ajak  mengelola alam karena dorongan aqidah sehingga tidak menjadi manusia serakah?  Mengerikan sekali jika generasi kita menjadi serakah dan membuat kerusakan di daratan dan lautan.

Sayangnya, sistem pendidikan kita sangat kapitalis. Mencetak generasi yang orientasinya materialistis. Kurikulumnya sekuler sehingga menghasilkan manusia yang tidak mau diatur oleh hukum Allah.

Semoga kita bisa menghasilkan pemimpin generasi sekelas Khalifah Umar bin Khatab. Untuk mencegah kebakaran hutan, khalifah memerintahkan untuk membersihkan rumput-rumput kering lalu dikumpulkan untuk makanan hewan ternak. Agar rumput kering tidak memicu kebakaran hutan dan bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya. Seperti inilah profil pemimpin yang dicintai rakyatnya dan diridhoi Allah.

Sistem pendidikan kita harus mampu menginstal mindset karakter pemimpin dengan benar. Semoga kita segera sadar untuk mengganti pendidikan kita agar sesuai syariah. Tak hanya pendidikannya tapi juga sistem pemerintahan, ekonomi,  dan politiknya. 

Dengan demikian akan terasa keagungan islam yang begitu rupa, tiada taranya. Tak hanya Karhutla yang bisa dicegah. Berbagai bentuk kemaksiatan pun bisa diminimalisir oleh islam. (Hana Ummu Dzaki, Pemerhati Generasi, tinggal di Pekanbaru,  Riau) 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement