Selasa 05 Nov 2019 16:36 WIB

Maulid Nabi, Ekspresi Cinta Untuk Taat Syariat

Cinta kepada Nabi Muhammad SAW adalah menjalankan ketaatan dengan syariat Islam

Santri mengaji dalam peringatan maulid nabi (ilustrasi)
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Santri mengaji dalam peringatan maulid nabi (ilustrasi)

Setiap memasuki bulan Rabiul Awal, terkenang sosok manusia agung kekasih Allah SWT. Kegundahannya adalah memikirkan nasib umatnya. Bahkan kegundahan memikirkan nasib umatnya tersebut terbawa hingga menjelang wafatnya. 

Beliau gundah akan nasib umatnya sepeninggal beliau. Apakah umatnya tetap berpegang teguh dengan syariat yang dibawanya? Ataukah justru umatnya ini banyak menelantarkan syariat yang dibawanya?

Bulan Rabiul Awal mendedangkan kerinduan kepada sosok tauladan sepanjang jaman yakni Nabi Muhammad SAW. Kami mengetahui bahwa dengan kegembiraan saja menyambut kelahiranmu, bisa mendatangkan rahmat Allah SWT. 

Adalah Abu Lahab, sang paman yang memusuhi dakwah Nabi SAW, mendapatkan dispensasi dari siksa yang diterimanya setiap hari kelahiran Nabi SAW lantaran suka citanya menyambut kelahiran beliau SAW. Lantas, bagaimana pula dengan kita, umatnya yang ingin meneladaninya dan menaati syariat yang dibawanya? Tentu keberkahan hidup akan didapatkan. 

Ekspresi kegembiraan dan suka cita menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW itu terlihat di tengah–tengah kaum muslimin. Mereka membaca sholawat, melakukan diba’an dan mengadakan pengajian mauidhoh hasanah serta seabrek kegiatan lainnya sebagai wujud kegembiraan menyambut kelahiran Nabi SAW. Adalah merupakan kewajaran bila orang tua sangat gembira dengan kehadiran seorang anak di tengah–tengah kehidupan mereka. 

Bahkan mereka akan mengungkapkan kegembiraan tersebut dengan melakukan perayaan kecil–kecilan atas kehadiran sang buah hati. Hari–hari mereka akan penuh warna kebahagiaan. Bertumpu asa akan anaknya nanti menjadi anak yang sholih sehingga menjadi tabungan kebaikan dan pahala bagi kehidupan mereka di dunia dan akherat. 

Sedangkan momen Rabiul Awal ini adalah momen kelahiran Nabi Muhammad SAW. Kelahiran manusia agung yang mendapatkan mandate menyelamatkan manusia dan dunia dari kehancuran. Risalah Islam sebagai kunci keselamatan dunia dan akherat, disampaikannya. Tidakkah lebih layak lagi bagi kita untuk bersuka cita dan mengekspresikan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW? 

Akan tetapi kegembiraan dan suka cita itu sebagian besarnya hanya berhenti dan terpaku secara seremonial belaka. Suka cita akan kelahiran Nabi Muhammad SAW berhenti di malam itu. Ya, malam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Seolah mereka sudah merasa cukup dengan ekspresi suka cita dan kegembiraan di malam peringatan tersebut. Itulah wujud cinta mereka kepada sang junjungan. 

Akibatnya yang terjadi kewajiban ditinggalkan dengan pemakluman udzur habis mengadakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sejak sore begitu sibuknya mengurus semua hal terkait peringatan Maulid Nabi. Sholat Ashar, Maghrib dan Isya pun melayang diterbangkan oleh kesibukan melakukan perayaan. 

Tidak terkecuali Sholat Subuh juga terlewati. Bangun tidur kesiangan, saat ditanyakan jawabannya adalah maklum tadi malam begadang melakukan kegiatan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. 

Walhasil, berulang kali peringatan Maulid Nabi SAW diselenggarakan, potret kehidupan umat belum berubah. Umat ini masih terpuruk dalam gelapnya lorong kehidupan yang jauh dari penerapan risalah sang Nabi. 

Sedangkan Mauidhoh hasanah diperdengarkan, bahwa kelahiran Nabi Muhammad SAW menandai akan era baru. Yakni sebuah era untuk mengubah wajah dunia yang diliputi kegelapan menjadi wajah baru dunia yang diliputi cahaya petunjuk ilahi yakni ajaran Islam. Inilah makna dan esensi yang harus disadari oleh umat Islam. 

Ekspresi kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW menjadi sumber energi yang seharusnya melahirkan munculnya enegi dan gelombang besar sebuah gerakan umat untuk menaati Syariat Islam. Dan tidak bisa disebut sebagai menaati syariat hingga kita, umat Islam senantiasa melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan sehari–hari.

Dengan demikian kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah kecintaan yang semu. Akan tetapi kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW adalah sebuah cinta sejati, sebuah cinta yang melahirkan ketaatan dalam melaksanakan dan berpegang teguh dengan Syariat Islam yang mulia. 

Pengirim: Ainul Mizan, penulis tinggal di Malang

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement