Rabu 20 Feb 2019 11:14 WIB

Korupsi dalam Pusara Demokrasi

Mekanisme politik dan sistem pemerintahan demokrasi membutuhkan biaya mahal

Kepala daerah korupsi (ilustrasi)
Foto: Dok Republika.co.id
Kepala daerah korupsi (ilustrasi)

Beberapa waktu lalu, mencuat lagi kasus korupsi yang melibatkan kader partai pengusung demokrasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian Hadi (SH) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dalam proses pemberian izin usaha pertambangan terhadap tiga perusahaan di lingkungan Pemkab Kotawaringin Timur (Merdeka.com, 7/02/2019).

Kerugian negara akibat tindakan tersebut mencapai Rp 5,8 triliun. Angka yang fantastis dan sangat bermanfaat jika digunakan untuk memberikan pelayanan untuk rakyat. 

Baca Juga

Korupsi seolah sudah mendarah daging di negeri ini. Hampir disetiap masa kepemimpinan selalu terulang lagi kasus-kasus korupsi mulai dari pejabat tinggi sampai pejabat lokal daerah. Berbicara korupsi tentu tidak dapat dipisahkan dari sistem perpolitikan negeri ini.

Mekanisme politik dan sistem pemerintahan demokrasi membutuhkan biaya yang sangat mahal. Inilah yang menyebabkan banyak individu harus memiliki banyak modal untuk terjun dalam politik baik itu modal pribadi maupun dari tim suksesnya (baik itu individu atau korporasi). Transaksi politik kerap terjadi.

Tak dipungkiri, banyak individu yg sukses terpilih akhirnya melakukan tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Perusahaan yang sebelumnya menjadi sponsor kesuksesannya akan dengan mudah mendapatkam izin usaha, tender, dan lain sebagainya. Begitulah lingkaran politik demokrasi. 

Jika demikian, rakyat seharusnya semakin sadar bahwa sistem politik demokrasi inilah yang menjadi biangnya korupsi. Sistem ini memiliki banyak celah yang mampu menjerat individu dalam lingkaran korupsi.

Sudah saatnya negeri ini meninggalkan sistem demokrasi dan beralih ke sistem Islam. Sistem Islam mempunyai mekanisme ketat untuk menutup celah dan meminimalisir terjadinya korupsi. Peningkatan ketakwaan individu, kontrol masyarakat yang berjalan untuk saling mengingatkan dan penerapan sistem islam yang menyeluruh dan terintegrasi (termasuk sistem sanksi yang tegas, keras dan berat) menjadi wasilah untuk menghilangkan tindakan korupsi.

Pengirim: Rina Kusrina, M.Si, Penggiat Literasi Muslimah, Bogor

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement