Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ummu Fatimah

RKUHP Gambaran Asli Wajah Demokrasi

Politik | Sunday, 10 Jul 2022, 01:12 WIB

Jagad hukum Indonesia kembali memanas, berbagai diskusi dilakukan bahkan bukan hanya pada kalangan pakar tetapi hingga ke mahasiswa. Pada bulan Juni lau, pemerintah meekspos sebuah berita bahwa pada bulan Juli ini RUU KHUP edisi revisi akan disahkan (Merdeka.com, 25/6/22 ). Pasca berita ini sampai ke telinga publik berbagai elemen masyarakat berusaha mengkritisi ulang kebijakan yang ada khususnya pada ambiguitas dari pasal penghinaan kepada pihak pemerintahan (Kumparan News, 7/7/22). Aksi demontrasi oleh mahasiswa pun diberbagai daerah terjadi demi melancarkan penolakan atas RUU ini (suara.com 28/6/22)

Pada dasarnya banyak pasal yang dirasa bermasalah pada draf RUU yang baru saja dipublikasikan. Salah satunya adalah pasal terkait penghinaan presiden dan wakil presiden Pasal ini hadir dengan asumsi untuk melindungi harkat dan martabat dari penguasa. Nicky Fahrizal salah satu oeneliti Centre for Startegic and International Studies (CSIS) mempertanaykan standart penghinaan yang dimaksud (Kompas.com, 7/7/22). Potensi menjadi pasal karet inilah yang menjadikan mahasiswa serta berbagai kalangan masyarakat baik pengamat politik hingga komedian khawatir pasal ini bisa menjadi alat gebuk bagi siapa siapa yang berusaha untuk melakukan kritik terhadap kebijakan yang dilakukan. Sehingga akan mengkebiri kebebasan berpendapat. Perlu diketahui hukuman bagi pelangga pasal ini tersebut adalah bui hingga denda. Akibatnya publik merasa ini adalah sebuah alat untuk membungkam berbagai kritisi yang dilakukan oleh masyarakat serta berpotensi menimbulkan tindak otoritarian di kemudian hari jika RUU ini tetap disahkan.

REZIM ANTI KRITIK

Adanya pasal pelanggaran penghinaan ini setidaknya membuat masyarakat berpikir ulang ketika hendak menyampaikan kritik secara lugas. Mengingat pengalaman yang ada tentang bagaimana UU ITE berjalan, banyak pihak pihak yang terkena UU ITE padahal yang disampaikan adalah sebuah kritik terhadap pelayanan yang ada di dalam masyarakat oleh rezim. Narasi oposisi tersebut justru dianggap penghinaan atass pribadu sehingga dianggap layak mendapatkan hukuman. Sedangkan disisi lain banyak pihak yang melakukan penghinaan tetap bisa melenggang tanpa adanya jerat hukum yang sama. Hal inilah yang menjadi taruma masyarakat. Dugaan RKUHP sebagai penyokong kekuatan otoroterian tidak terbendung.

HIPOKRIT DEMOKRASI

Hebohnya penolakan masyarakat terkait pasal penghinaan presiden serta gigihnya pemerintah dalam menggoalkan undang undang ini membuat sebuah hipokrit besar di dalam sistem yang digunakan. Demokarasi sebagai sistem politik yang digunakan diberbagai dunia termasuk Indonesia pada dasarnya memiliki 4 pilar yang mencari ciri penting yaitu kebebasan berbicara, berkepemilikan, beragama, berorganisasi. Kebebasan berbicara yang dijamin oleh demokrasi seharusnya mengakomodir adanya kritik pada rexzim yang dilakukan oleh masyarakat. Namun, hal ini ternyata dipatahkan oleh konsep di dalam demokrasi sendiri yaitu konsep pembuatan hukumnya.

Pada proses pembuatan hukum di sistem demokrasi, aturan disahkan dengan voting dan dibentuk tanpa adanya barrier apapun. Aturan aturan ini tidak diperkenankan membawa atau identik dengan sudut pandang agama dikarenakan asas sekulerisme yang berjabat tangan dengan demokrasi. Alhasil, aturan aturan yang ada merupakan hasil olah pikir manusia secara mandiri. Pertanyaannya ketika manusia membuat hukum apakah tidak ada dorongan kepentingan? Padahal, untuk duduk di kursi kekuasaan banyak pihak yang mendukung dari pengusaha pengusaha. Hal ini dijelaskan dalam konsep ekonomi politik bahwa pengusaha mendukung para calon penguasa demi sebuah aturan yang di goalkan oleh rezim. Perkara ini menunjukkan bahwa aturan aturan yang ada berpotensi besar condong pada para korporasi. Kepentingan ini membuat manusia bisa bersikap tidak adil dalam membuat hukum. Bahkan terjadi perbedaan yang sangat signifikan dengan asasnya. Pada asas demokrasi terdapat kebebasan berbicara akan tetapi dengan demokrasi pula aturan kritik seolah olah menjadi tindak pidana.

TIDAK LAYAK

Jika ditelaah lebih jauh lagi, manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna memiliki kekurangan, lupa, terbatas pengetahuannya diserahi tanggung jawab membuat hukum tentu tidak akan mampu. Berbagai keterbatasan inilah yang menjadikan manusia tidak pantas membuat hukum tanpa barrie dari Dzat yang maha Tau manusia sendiri seperti apa. Dampaknya, manusia tidak akan menemui sebuah keadilan pada hukum hukum buatan manusia karena sejatinya hukum ini akan penuh dengan cacat. Hal ini telah dibuktikan dengan pasal pasal yang justru menimbulkan hiprokrit di tengah tengah masyaraakat lewat undang undang yang ada. Lalu apakah sistem seperti ini akan tetap dipertahankan?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image