Sabtu 09 Jul 2022 09:58 WIB

Pengamat: Selera Hambat Singkong dan Sagu Jadi Pengganti Gandum

Pemerintah seharusnya tidak mengandalkan impor gandum dari Ukraina.

Ilustrasi gandum. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Tauhid mengatakan, sagu dan singkong masih sulit untuk bisa menggantikan gandum.
Foto: AP Photo/Hussein Malla
Ilustrasi gandum. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Tauhid mengatakan, sagu dan singkong masih sulit untuk bisa menggantikan gandum.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Tauhid mengatakan, sagu dan singkong masih sulit untuk bisa menggantikan gandum. Sebab, perbedaan selera konsumsi masing-masing daerah di Indonesia dan olahannya terbatas.

"Agak sulit ya untuk mengganti dengan singkong dan sagu kita tidak bisa memaksakan orang untuk setiap hari makan singkong mungkin satu-dua hari masih oke, tapi karena olahan sagu atau singkong terbatas dan masing-masing daerah seleranya berbeda maka agak sulit," kata Tauhid di Jakarta, Jumat (8/7/2022).

Baca Juga

Ia menjelaskan, masing-masing daerah di Indonesia mempunyai selera dan konsumsi pangan harian yang berbeda. Sehingga, sulit untuk mengganti roti atau mie instan yang selama ini menjadi konsumsi masyarakat Indonesia. 

Sebelumnya, terdapat wacana singkong dan sagu diharapkan bisa menjadi alternatif pangan pengganti gandum. Saat ini, gandum yang merupakan bahan baku tepung terigu dan produk mie instan, terancam pasokannya karena dampak geopolitik di Eropa.

Singkong menjadi bahan makanan dan sumber karbohidrat hampir di seluruh daerah di Indonesia. Bahan pangan ini juga cocok dikonsumsi bagi penderita autis karena pati sarinya tidak mengandung gluten.

Sementara itu, sagu menjadi bahan makanan pokok di daerah Indonesia bagian Timur seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, Sulawesi dan Papua. Karena itu, Tauhid melanjutkan seharusnya pemerintah tidak mengandalkan impor gandum dari Ukraina tetapi mengalihkan besaran impor ke negara lain untuk memenuhi pasokan.

"Kalau Indonesia punya kedekatan dengan Rusia seharusnya kita bisa mendapat harga yang lebih murah dan Indonesia harusnya bisa meningkatkan impor dari negara lain sebagai alternatif," kata dia.

Di sisi lain, pemerintah juga harus memanfaatkan kearifan lokal pangan yang ada di masing-masing daerah dan tidak memaksakan tergantung pada beras sebagai bahan pangan pokok. Saat ini, harga gandum dunia mengalami kenaikan 24 persen sejak konflik Rusia-Ukraina, sehingga berdampak pada kenaikan harga pangan berbahan dasar gandum di dalam negeri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement