Rabu 06 Jul 2022 17:39 WIB

Aliansi Amarah Brawijaya Desak Pemerintah Transparansi Soal RKUHP

Aliansi ini mengumpulkan sejumlah kecacatan materiil dari RKUHP tersebut.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Ilham Tirta
Dua aktivis mahasiswa mengecam ketertutupan pemerintah dan DPR saat melakukan pembahasan draft rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman
Dua aktivis mahasiswa mengecam ketertutupan pemerintah dan DPR saat melakukan pembahasan draft rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Aliansi Amarah Brawijaya mendesak pemerintah dan DPR melakukan transparansi terhadap draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal ini diungkapkan mengingat perancangan draft tersebut seakan ditutup keberadaannya pada muka publik.

Koordinator Aliansi Amarah Brawijaya, Kahfi Inzaghi mengatakan, tindakan yang menutup-nutupi RKUHP berkonsekuensi hukum 'cacat formil'. Kemudian juga bisa memicu tak terpenuhinya asas good governance pada pemerintah.

Baca Juga

“Maka dari itu penting bagi kita tetap mengawal dan mengkritisi keberlangsungan dari RKUHP ini sehingga menjadi regulasi yang tetap ideal bagi keberlangsungan bernegara,” ucap Kahfi saat dikonfirmasi Republika.co.id, Rabu (6/7/2022).

Aliansi yang sebagian besar merupakan mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) ini telah mengumpulkan beberapa kecacatan materiil dari RKUHP dengan sandaran draft RKUHP 2019. Aspek pertama mengenai pengaturan hukuman yang hidup di dalam masyarakat pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 598. Menurut aliansi, hal ini dapat memicu terjadinya kesewenang-wenangan dan bertentangan dengan asas legalitas.

Poin berikutnya mengenai hukuman mati pada Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, dan Pasal 101. Aspek-aspek ini dianggap melanggar ketentuan dari Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai hak dasar di dalam setiap individu.

Selanjutnya, tentang penghinaan terhadap presiden pada pasal 218. "Ini bertentangan dengan penjaminan kebebasan berpendapat dan cenderung memunculkan pemerintahan otoriter,” kata dia.

Aliansi juga mengkritik pengaturan penghinaan terhadap pemerintahan yang sah. Aturan ini tertera pada pasal 240. Menurut Kahfi, keberadaan aturan ini bertentangan dengan penjaminan demokrasi di mana masyarakat dapat mengkritik sebuah pemerintahan demi pembangunan berkelanjutan yang lebih baik.

Selain itu, aliansi juga menyinggung masalah penghinaan lembaga negara pada pasal 353. Menurut dia, putusan MK 013-022/PUU/IV/2006 dinyatakan penghinaan harus ditujukan dalam konteks perlindungan reputasi seseorang, bukan merujuk pada institusinya. Pengaturan pasal ini kemudian juga melanggar ketentuan Komentar Umum ICCPR Nomor 34 Poin 38 bahwa pemerintah seharusnya tidak melarang suatu kritik terhadap institusinya.

Berikutnya, aliansi mengkritik masalah aborsi pada pasal 467. Kahfi dan aliansi menilai aturan tersebut bermasalah karena korban kehamilan tidak hanya dimungkinkan terjadi akibat perkosaan ataupun kekerasan medis. “Akan tetapi juga dapat berasal dari korban kekerasan seksual seperti eksploitasi seksual,” katanya.

Pada pernyataan resmi ini, setidaknya ada 14 aspek yang dinilai aliansi bermasalah. Sebab itu, Aliansi Amarah Brawijaya mendesak pemerintah bersama DPR mendengarkan, mempertimbangkan, dan memberikan respon terhadap aspirasi yang dinyatakan oleh masyarakat. Kemudian mengajak kepada seluruh elemen masyarakat Pro-HAM dan demokrasi untuk bersolidaritas dalam mendesak pemerintah dan DPR RI untuk melakukan transparansi terhadap draf RKUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement