Rabu 06 Jul 2022 14:36 WIB

Tiga Mahasiswa UMM Lulus Kuliah Berkat Film Dokumenter

Film 'Menyisir Pesisir Gili Ketapang' mengangkat isu lingkungan yang sangat kompleks.

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Yusuf Assidiq
Tiga mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mampu lulus tanpa menyusun skripsi melainkan hanya perlu memproduksi film yang kini berhasil tayang di Wathcdoc Documentary pada pertengahan Juni lalu.
Foto: Dok. Humas UMM
Tiga mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mampu lulus tanpa menyusun skripsi melainkan hanya perlu memproduksi film yang kini berhasil tayang di Wathcdoc Documentary pada pertengahan Juni lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Tiga mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mampu lulus tanpa menyusun skripsi. Mahasiswa Devano Ramadhan Pratama, Ahmad Ali Mahfud, dan Muhammad Sofwan hanya perlu  memproduksi film yang kini berhasil tayang di di Wathcdoc Documentary pada pertengahan Juni lalu.

Perwakilan kelompok, Devano menceritakan, ide film ini muncul sejak awal semester dua lalu. Saat itu mereka diajak untuk membuat film  yang berlokasi di Gili Ketapang. Setibanya di sana, mereka melihat permasalahan lingkungan yang memprihatinkan. "Mulai dari sampah yang menumpuk, pengerukan pasir, dan pengambilan terumbu karang untuk pembangunan rumah," katanya.

Jika kebiasaan itu berlanjut, tentu akan memberikan dampak buruk bagi pulau tersebut ke depannya. Apalagi mengingat Gili Ketapang adalah salah satu objek wisata bahari unggulan di Jawa Timur (Jatim).

Anggota kelompok lainnya, Mahfud menambahkan, film Menyisir Pesisir Gili Ketapang ini mengangkat isu lingkungan yang sangat kompleks. Karya tersebut memperlihatkan kebiasaan masyarakat yang ternyata memberikan efek kurang baik bagi lingkungan.

Di sisi lain, pemerintah menjalankan program pariwisata tetapi tidak mempertimbangkan kondisi lingkungan yang ada. Selain itu, kondisi pemukiman yang bertambah menjadi 10 ribu jiwa berefek pada semakin kurangnya ruang lapang di pulau tersebut.

Populasi kambing liar yang ada juga semakin meningkat, padahal lahan terus berkurang. Akhirnya, sampah menjadi makanan bagi para kambing-kambing. Tidak jarang, beberapa kambing mati di pinggir pantai dan dibiarkan hanyut terbawa arus laut.

“Kondisi pemukiman yang semakin padat, sampah menumpuk, kebiasaan masyarakat yang susah diubah dan solusi yang tak kunjung datang akan berujung pada hilangnya pulau ini,” ujarnya.

Di sisi lain, Sofwan juga menceritakan isi dari film dokumenter tersebut. Pariwisata Gili Ketapang mulai dikenal banyak orang sejak 2012 hingga 2013an tetapi puncaknya pada 2016 hingga 2017. Tiap harinya, ada ratusan wisatawan yang datang untuk menikmati pantai dan snorkeling.

Situasi ini mengubah sebagian besar pekerjaan warga sekitar. Sebelumnya bekerja sebagai nelayan, kini beralih ke operator wisatawan hingga penjual aksesoris. Sebab itu, masyarakat setempat tidak lagi bergantung pada hasil laut.

Menurut dia, banyak warga setempat merasakan hal positif dari datangnya pariwisata. Oleh karena itu, mulai dipandang oleh pemerintah dengan pembangunan dermaga selatan. Namun pertumbuhan pariwisata yang tinggi tidak dibarengi dengan perawatan lingkungan yang mumpuni.

Ketiga mahasiswa ini berharap film tersebut bisa menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan. Begitupun dengan pemerintah yang harus segera bergerak dan memberikan solusi kepada warga Gili Ketapang.

“Jadi, program tidak hanya menjadi program saja, tapi benar-benar dilaksanakan agar memberikan dampak positif. Semoga film ini dapat mengedukasi masyarkat agar kebiasaannya berubah dan ketahanan pulau terjaga,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement