Terkait Ganja Medis, DPR Berharap Revisi UU Narkotika Dapat Ubah Paradigma Masyarakat

Selama ini kebijakan terkait narkotika selalu menempatkannya sebagai persoalan hukum.

Senin , 04 Jul 2022, 13:48 WIB
Orang Tua dari Anak yang mengidap cerebral palsy Santi Warastuti (kiri) bersama Ketua Pembina Yayasan Sativa Nusantara Prof Musri Musman (dua kanan) mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022). Rapat tersebut mendengar aspirasi dari masyarakat terkait legalisasi ganja untuk medis.Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Orang Tua dari Anak yang mengidap cerebral palsy Santi Warastuti (kiri) bersama Ketua Pembina Yayasan Sativa Nusantara Prof Musri Musman (dua kanan) mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022). Rapat tersebut mendengar aspirasi dari masyarakat terkait legalisasi ganja untuk medis.Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari berharap revisi Undang-Undang nomor 39 tahun 2009 tentang Narkotika dapat mengubah paradigma kebijakan terkait narkotika. Menurut dia, selama ini kebijakan terkait narkotika selalu menempatkan persoalan narkotika sebagai persoalan hukum dan penegakan hukum semata.

"Padahal justru yang harus dikedepankan adalah penanganan kebijakan kesehatannya. Hukum digunakan untuk pihak-pihak yang memanfaatkan narkotika untuk kejahatan, sementara pendekatan kesehatan digunkan untuk kemanfaatan dan kemanusiaan serta menyelamatkan anak bangsa yang menjadi korban dari penyalahgunaan narkotika," kata Taufik di Jakarta, Senin (4/7/2022), seperti dalam siaran persnya.

Baca Juga

Dia menilai semua pihak tidak boleh berpandangan konservatif dalam merumuskan kebijakan narkotika, sehingga jika ada penelitian bahwa tanaman ganja dapat untuk pengobatan maka harus berpikiran terbuka rumuskan perubahan kebijakan.

Menurut dia, selama ini ketika ada yang mengangkat isu tentang ganja untuk kebutuhan medis, seringkali langsung mendapatkan stigma dan diberikan berbagai macam tuduhan. "Dalam diskursus mengenai ganja untuk kebutuhan medis, masyarakat perlu mengetahui bahwa secara hukum dan berdasarkan Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sebenarnya narkotika merupakan obat," ujarnya.

Namun menurut dia, karena terdapat efek samping jika tidak digunakan dengan standar pengobatan yang tepat, maka dari itu diatur golongan-golongan narkotika.

Dia menjelaskan, berdasarkan Peraturan Menteri Kesahatan (Permenkes) yang menjadi lampiran UU, sejak dahulu hingga yang terakhir tahun 2021, ganja dan seluruh produk turunannya ditempatkan sebagai narkotika golongan 1 yang hanya dapat digunakan untuk riset dan tidak dapat digunakan untuk terapi kesehatan.

"Akibatnya, pasien seperti anak dari ibu santi yang menderita cerebal palsy tidak dapat menggunakan ganja untuk pengobatan, bahkan dalam kasus Fidelis Arie yang memberikan ganja untuk pengobatan istrinya harus berakhir pada proses hukum," ujarnya.

Menurut dia, saat ini sedang dilakukan pembahasan revisi UU Narkotika, tentu informasi terkait hasil penelitian ahli maupun keterangan masyarakat seperti Santi dan Dwi akan menjadi bahan masukan bagi Komisi III DPR.

Taufik menilai, peristiwa yang dialami Santi dan Dwi Pertiwi yang memperjuangkan pengobatan anaknya serta Fidelis yang membantu pengobatan istrinya hingga harus berhadapan dengan hukum, merupakan masalah kemanusiaan yang harus dicarikan jalan keluarnya.