Kamis 12 Jan 2012 07:51 WIB

Bentrokan Polisi dengan Warga di Bima Jadi Catatan Amnesti Internasional

Sejumlah pasukan Brimob Polda NTB bersiap melakukan pembubaran massa yang melakukan pemblokiran Pelabuhan Sape, Kecamatan Sape, Bima, Kabupaten Bima, NTB, Sabtu (24/12).
Foto: Antara/Rinby
Sejumlah pasukan Brimob Polda NTB bersiap melakukan pembubaran massa yang melakukan pemblokiran Pelabuhan Sape, Kecamatan Sape, Bima, Kabupaten Bima, NTB, Sabtu (24/12).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON - Amnesty International mendesak pemerintah Indonesia memastikan akuntabilitas atas kekerasan polisi di Bima dan membentuk mekanisme pengaduan polisi independen untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia.

Hal itu disampaikan Josef Roy Benedict, Campaigner - Indonesia & Timor-Leste, Secretariat Amnesty Internasional yang berkedudukan di London, Inggris dalam keterangannya kepada ANTARA London, Kamis (12/1).

Dikatakannya Pemerintah Indonesia harus memastikan akuntabilitas atas kematian setidaknya tiga orang dan luka pada puluhan lainnya dalam protes damai di Bima, provinsi Nusa Tenggara Barat pada akhir Desember.

Amensty Internasional mengharapkan pemerintah Indonesia untuk memberdayakan badan-badan yang sedia ada seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) atau Komnas HAM dapat melaksanakan investigasi yang independen dan menyerahkan temuan ke penuntut umum atau badan disiplin internal kepolisian.

Dikatakannya jika investigasi yang sedang berlangsung menemukan bahwa pasukan keamanan melakukan pembunuhan di luar hukum atau penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya, maka mereka yang bertanggung jawab, termasuk orang dengan tanggung jawab komando, harus dituntut dalam proses memenuhi standar internasional tentang peradilan dan korban diberikan reparasi.

Sekitar 100 pengunjuk rasa memblokir jalan ke pelabuhan Sape dekat Bima, pada pagi hari 24 Desember lalu yang menuntut pencabutan izin eksplorasi yang dikeluarkan untuk perusahaan pertambangan emas. Mereka menyebutkan masalah lingkungan dan ketakutan itu akan mengancam mata pencaharian mereka.

Diperkirakan 600 personil polisi termasuk unit Brimob, unit Reserse Kriminal (Reskrim) dan unit intelijen dikerahkan ke pelabuhan untuk membubarkan para pengunjuk rasa.

Menurut laporan kredibel, polisi melepaskan tembakan dan menggunakan kekerasan berlebihan terhadap para pengunjuk rasa, menewaskan sedikitnya tiga orang dan melukai sekitar 80 lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak.

Polisi menangkap sedikitnya 56 warga Bima karena keterlibatan mereka dalam demonstrasi dan diduga memiliki senjata. Menurut sumber setempat, setidaknya 37 masih ditahan.

Sebuah penyelidikan awal dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan indikasi polisi telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut komisi, Kapolresta Bima telah memberikan perintah untuk menggunakan kekerasan dan polisi meninju, menendang dan menyeret pengunjuk rasa yang telah melakukan perlawanan tidak ada.

Komisi juga menemukan bukti polisi telah merusakkan tempat kejadian dengan mengumpulkan selongsong peluru peluru yang tersebar di daerah penembakan.

Amnesty International mengakui dalam pengendalian demonstrasi aparat keamanan tampaknya telah melakukan pelanggaran hak kebebasan dan penyiksaan berdasarkan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang Indonesia merupakan negara anggota.

Polisi juga melanggar peraturan polisi Indonesia tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian yang menyebutkan kekuatan yang harus digunakan hanya sebagai upaya terakhir, proporsional dengan ancaman yang dihadapi dan harus dirancang untuk meminimalkan kerusakan atau cedera.

Proses disiplin internal polisi yang diadakan di Mataram, ibukota provinsi Nusa Tenggara Barat, menemukan lima polisi melanggar prosedur polisi karena memukul dan menendang demonstran ketika mencoba untuk membubarkan mereka. Mereka dilaporkan diberi hukuman penahanan tiga hari, teguran tertulis dan penundaan pelatihan lebih lanjut.

Sementara Amnesty International menyambut setiap proses disiplin internal terkait kesalahan polisi, ini tidak harus mengganti membawa mereka yang diduga melakukan pelanggaran yang melibatkan pelanggaran HAM di hadapan pengadilan sipil.

Pimpinan kepolisian perlu melakukan tinjauan menyeluruh taktik polisi dan penggunaan senjata selama pengedalian massa yang sesuai dengan standar internasional, khususnya Kode Etik PBB untuk Pejabat Penegak Hukum dan Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement