Rabu 23 Nov 2011 18:23 WIB

Demi Papua, Sang Dokter Tinggalkan Kemewahan Ibukota

drg Annisya Muharti, dokter gigi di RSUD Mulia, Puncak Jaya, Papua.
Foto: Republika Online/Chairul Akhmad
drg Annisya Muharti, dokter gigi di RSUD Mulia, Puncak Jaya, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, PUNCAK JAYA – Drg Annisya Muharti termasuk salah seorang dokter gigi yang gigih mengabdi di kawasan pedalaman Papua. Sudah lima tahun lebih ia bertugas di RSUD Mulia, Kabupaten Puncak Jaya.

Nisya, demikian panggilan akrabnya, mengaku berhasrat menginjakkan kaki di Bumi Cendrawasih karena ingin melihat salju pada mulanya. Namun, keinginannya tak kesampaian. Salju di Papua hanya ada di pegunungan Jayawijaya. Walau sama-sama daerah pegunungan, Puncak Jaya tidak berselimut salju.

Dokter gigi lulusan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti ini tiba di Puncak Jaya pada 2007 sebagai dokter PTT alias Pegawai Tidak Tetap. Saat itu, belum banyak dokter PPT di RSUD Mulia, yang ada kebanyakan dokter PNS.

Usai lulus kuliah pada 2006, putri pasangan H Syahril R Chan dan Hj Asmiwati ini sempat bekerja sebagai tenaga medis di Polda Metro Jaya selama kurang lebih enam bulan. Setelah itu, ia mencari-cari informasi tentang tenaga kesehatan di situs Departemen Kesehatan (Depkes) RI.  

Kebetulan di situs tersebut ada lowongan dokter gigi untuk wilayah Papua. Nisya kemudian menyerahkan berkas-berkasnya ke Depkes dan menjalani proses wawancara. Tak terlalu sulit, ia pun diterima sebagai dokter PTT dan ditempatkan di Puncak Jaya.

Nisya kemudian terbang ke Papua. Perjalanan panjang ke wilayah Indonesia bagian timur itu lumayan menguras tenaganya. Ia sempat merasa stres saat itu. "Begitu tiba di Bandara Sentani, rasanya saya mau sujud syukur saja," kenangnya.

Maklum, ini adalah perjalanan panjang pertama yang ia jalani selama hidupnya. Rute terjauh yang pernah ia datangi adalah Makassar.

Nikmatnya comfort zone (zona nyaman) ibukota tak kuasa menahan hasrat Nisya ke Papua. Ia tak tergoda dengan kemewahan hidup sebagai seorang dokter di kota besar. Padahal, kesempatan untuk meniti karir dan mengumpulkan rupiah dalam jumlah gede sangat terbuka lebar.

"Saya lebih tertarik dengan tantangan di pedalaman Papua, ketimbang kemudahan fasilitas Jakarta. Di sini (Papua), saya dapat memaksimalkan potensi yang saya miliki untuk melayani masyarakat," demikian prinsip dara yang hobi traveling (jalan-jalan) ini.

Tiba di Jayapura, Nisya dan rekan-rekannya sesama dokter PTT dibawa ke Depkes Provinsi Papua. Di sana mereka mendapatkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan dan penempatan sekaligus. "Di situ kami berkenalan dengan dokter-dokter lainnya. Dua hari kemudian, kami terbang ke Puncak Jaya," tuturnya.

Dokter Gigi Pertama

Menumpangi 'pesawat capung' merupakan pengalaman yang sangat menegangkan bagi dara kelahiran 1979 ini. "Mungkin waktu itu wajah saya sudah kayak permen Nano-Nano, merah kuning hijau," kelakarnya mengenang 'bajaj' terbang itu.

Bayangan tentang kota kabupaten di benak Nisya seketika buyar ketika pesawat mendarat di Bandara Mulia. Saat itu, Bandara Mulia seperti terminal. Walau landasan pacunya sudah beraspal, namun gedung-gedungnya bagaikan pos kamling.

Nisya merasa syok pertama kali menginjakkan kaki di Mulia. Melihat kondisi kota yang sedemikian kecil dan sepi. "Yang paling mengagetkan lagi adalah harga barang-barang dan bahan kebutuhan yang selangit," kata bungsu dari tiga bersaudara ini.

Walau demikian, Nisya mengaku tidak merasa berat dengan kehidupan barunya di Mulia. "Salah satu alasan kenapa saya ingin ke sini adalah ingin tahu lebih banyak tentang Papua. Dan kendala yang saya hadapi pertama kali adalah masalah bahasa," ungkapnya.

Seiring perjalanan waktu, Nisya tak kesulitan bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Ia merasa senang dan bahagia melihat keramahan warga Mulia, dan mengimbangi keramahan mereka dengan bersikap serupa. Kiat inilah yang membuatnya betah hingga lima tahun lebih bertugas di kawasan pegunungan tersebut.

Nisya termasuk dokter gigi pertama di Distrik Mulia, Puncak Jaya. Sebelumnya, yang ada di RSUD Mulia hanyalah dokter umum.

Dokter Sekaligus Sopir

Tantangan dan kendala sebagai seorang dokter di pedalaman tidaklah kecil. Selain belum lengkapnya fasilitas kesehatan di Rumah Sakit, Nisya juga kadang merangkap sebagai sopir ambulans. Tak jarang ia harus menjemput pasien jika rumah mereka jauh dari lokasi Rumah Sakit.

Nisya turun naik gunung membawa ambulans untuk menjemput pasien-pasien yang tak bisa datang sendiri ke RSUD Mulia. Tak jarang, mobil yang ia kendarai mogok di tengah jalan.

Walau demikian, tak sedikit pun ia berkeluh kesah. "Ini sudah menjadi bagian dari perjuangan di tempat ini. Kita harus bisa menerima dan memberikan yang terbaik buat masyarakat," tegasnya.

Selama dua tahun menjadi PTT, akhirnya Nisya diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada 2009. Ia pun berhak mendapatkan cuti. Dalam satu periode (setahun), Nisya mendapat jatah cuti dua pekan atau lebih. Tergantung kesepakatan dengan kepala dinasnya.

Dan sebagai PNS, Nisya terikat kontrak dengan institusinya. Jika masa kontraknya habis lalu dipindahkan ke daerah lain, ia takkan menolak. "Sebagai abdi pemerintah, saya harus selalu siap mengemban tugas yang diamanahkan," kata dia.

Di waktu senggang, gadis kelahiran Jakarta ini menyempatkan diri mendengarkan musik dan membaca novel. Selain itu, ia juga memaksimalkan hobi memasaknya, jalan-jalan di sekitar Mulia, dan bergaul dengan warga sekitar. Sambil berharap sesekali salju turun di Puncak Jaya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement