Kamis 30 Jun 2022 12:17 WIB

Pak Anies, Tabrani Juga Layak Mendapat Nama Jalan atau Gedung Olahraga di Jakarta

Tabrani merupakan pencetus nama Bahasa Indonesia pada 1926.

Tabrani (kiri) bersama Stein Adam dan Bahder Djohan (Foto Dokumentasi Idayu/Perpustakaan Nasional)
Foto:

Bob Hering juga menulis kecenderungan ini pada masa itu. Pimpinan partai politik mendorong peningkakan kerja sama dan tokoh sekelas Ki Hadjar Dewantoro juga menyarankan peningkatan kerja sama. Nasihatnya ia tujukan kepada Thamrin.

“Ki Hadjar Dewantoro dalam sepucuk suratnya kepada Gubernur Belanda di Yogya menyatakan ‘Rahwana Jerman dengan brutal memperkosa Holland yang tidak berdosa. Ia lebih jauh menawarkan kerja sama lebih erat lagi untuk kepentingan Belanda maupun Indonesia. Untuk mendukung hal itu ia menyampaikan 12 butir program yang sebelumnya dalam garis besarnya telah dikirimkan kepada Thamrin,” tulis Hering di buku Mohammad Hoesni Thamrin (2003: 338).

Surat Ki Hadjar Dewantoro kepada Thamrin merupakan nasihat dari “saudara tua” agar Thamrin “menghentikan perjuangan politik untuk sementara” dan tidak “menggunakan kesempatan yang dialami Belanda dan pemerintah [kolonial] dalam keadaan sulit itu”. Ki Hadjar Dewantoro juga berharap Thamrin melakukan persetujuan dengan Belanda untuk mendapatkan landasan yang kokoh lebih bagi kerja sama. Hal serupa juga dilakukan para pemimpin partai politik lewat manifesto yang meminta anggota partai mendukung pemerintah Hindia Belanda yang juga mengalami masa sulit akibat Belanda dikuasai Jerman.

photo
Tabrani (kiri) berbicara Sejarah Satu Nusa Satu Bangsa Satu Bahasa pada tahun 1975 - (Foto Dokumentasi Idayu/Perpustakaan Nasional)

Dalam kasus Tabrani-Thamrin, Dahler juga memberi tahu, ketika ia sudah diperbantukan di RPD, Tabrani mendatanginya dan bersumpah tidak bersalah dalam kasus Thamrin. Lantaran saat kejadian itu ia menjadi pemred Pemandangan, ia harus menanggungnya.

Permoelaan boelan December tahoen itoe, maka baroe terang kedodoekan hal itoe sebab orangnja yang menjoeroeh bikin klise itoe tidak setahoe Taberani datang datang sendiri kekantor RPD mengakoe salahnja kepada Taberani, dan berdjandji akan menoeliskan segala pengakoean itoe, soepaja dapat Taberani berichtiar akan direhabilitir. Akan tetapi malang bagi Taberani, doea hari sesoedah itoe petjah perang Asia Timoer ini, dan karena semoea kalang kaboet perkara itoe djadi terletak sadja,” tulis Dahler (Getekende Verklaring van PF Dahler, 1946).

Klise yang ditemukan di kantor Pemandangan itulah yang dijadikan alasan polisi menggeledah rumah Thamrin. Saat menggeledah rumah Thamrin, menurut Dahler, polisi mendapati beberapa surat Douwes Dekker dan nota ekonomi Indonesia yang ditulis Douwes Dekker untuk Sato Nobuhide, perwakilan dagang Jepang di Jakarta. Saat itu Douwes Dekker sudah tiga bulan bekerja di kantor Sato.

Koran Sin Tit Po edisi 28 Januari 1941, seperti dikutip Onghokham, menyebut Kepala Urusan Pers Belanda di RPD, Ritman, menjelaskan Thamrin bukan mata-mata Jepang. Thamrin membantu Douwes Dekker mendapakan pekerjaan di perwakilan dagang Jepang di Jakarta.

Ongkhokham juga menyebut dugaan Tabranilah yang mengirimkan surat Thamrin ke PID juga tidak terbukti. Hering mengutip surat Jaksa Agung Block kepada Levelt. ‘’Block melampirkan pendapat seorang pengacara pribumi yang tidak disebut namanya tentang ‘aliran dan ide yang hidup dewasa ini di lingkungan politik pribumi’,’’ tulis Hering.

Hering memberi catatan, motif informan itu --yang disebut untuk menyatukan PF Dahler dan Douwes Dekker-- tidak begitu jelas. ‘’Kecuali mungkin diinginkan untuk mencemarkan reputasi Thamrin terlebih Parindra,’’ tulis Hering.

Berdasarkan temuan di rumah Thamrin itu, kemudian polisi juga menangkap Douwes Dekker saat berada di rumah Dahler. Karenanya, rumah Dahler pun sempat digeledah tetapi tidak menemukan hal yang dapat dibawa. Douwes Dekker kemudian dibuang ke Suriname.

Tentang kesaksian orang yang membuat klise menguap begitu saja, karena dua hari setelah ia mendatangi RPD, pecahlah perang Asia Timur. ‘’Karena semua kalang kabut, perkara itu terabaikan,’’ tulis Dahler.

Saat Jepang berkuasa, Tabrani ditangkap polisi rahasia Jepang di Bandung dan dirinya juga diperiksa seputar kasus Thamrin itu. Tabrani ditangkap 17 Juni 1942 dan ditahan hingga 10 Juli 1942, serta mengalami penyiksaan. ‘’Bapak saya jalannya pincang karena ada tulang kaki yang retak karena penganiayaan itu,’’ ujar Armi Primarni, putri Tabrani dari istri kedua (Wawancara, 22 Juli 2019).

Ia ditangkap di Bandung, karena sejak Februari 1942 kantor RPD pindah ke Bandung. Laporan polisi rahasia Jepang itu, yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) sebagai dokumen NEFIS bernomor 2726 (Register No T.31, Golongan III-1, 1949), menulis sebagai berikut: Ternjata dia tidak bersalah sesoeatoe apa terhadap Balatentara Dai Nippon dan ternjata djoega tidak berdosa seperti difitnahkan dan didakwakan oleh setengah orang kepadanja disekitar “Thamrin-affairs”.

Laporan polisi rahasia Jepang itu menyebut Tabrani merupakan seorang organisatoris yang rapi. Sejak 20 September 1942 menjadi pemimpin sehari-hari redaksi surat kabar harian Tjahaja di Bandung, koran yang dimodali Jepang. Ada Oto Iskandar Dinata di koran ini, yang bertindak sebagai pemimpin umum.

Tabrani bergabung di Tjahaja sejak 2 Juni 1942 dan ditangkap oleh Ken Pet Bandung di bawah pimpinan dan pemeriksaan Kikutji pada 17 Juni 1942. Tabrani dilepas pada 10 Juli 1942. Sebelum menjadi pemimpin sehari-hari Tjahaja, pada 10 Juli 1942 hingga 19 September 1942, Tabrani tinggal di rumah di Tjiateulweg 43, Bandung, karena sakit.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement