Selasa 28 Jun 2022 08:06 WIB

LPSK Ungkap Alasan Penyiksaan yang Dilakukan Aparat

LPSK mengungkap sejumlah alasan kasus penyiksaan yang dilakukan aparat.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah demonstran yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Tangerang berunjuk rasa di depan Markas Polda Banten di Serang, Kamis (14/10/2021). Mereka memprotes tindak kekerasan aparat polisi yang membanting mahasiswa saat mengamankan unjuk rasa HUT Kabupaten Tangerang Rabu (13/10). LPSK mengungkap sejumlah alasan kasus penyiksaan yang dilakukan aparat.
Foto: ANTARA/Asep Fathulrahman
Sejumlah demonstran yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Tangerang berunjuk rasa di depan Markas Polda Banten di Serang, Kamis (14/10/2021). Mereka memprotes tindak kekerasan aparat polisi yang membanting mahasiswa saat mengamankan unjuk rasa HUT Kabupaten Tangerang Rabu (13/10). LPSK mengungkap sejumlah alasan kasus penyiksaan yang dilakukan aparat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memantau kasus penyiksaan oleh aparat negara masih terjadi hingga saat ini. LPSK menduga ada sejumlah faktor yang melatarbelakanginya.

Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution menyebut masalah struktural di kalangan aparat negara. Ia menemukan belum semua aparat penegak hukum (APH) memiliki perspektif dan paradigma yang sama soal penyiksaan.

Baca Juga

"Masih ada APH yang menyamakan kejahatan penyiksaan dengan kekerasan. Padahal, filosofi dan karakter keduanya sangat berbeda," kata Nasution di Jakarta pada Senin (27/6/2022).

Nasution mengungkapkan penyiksaan justru terjadi di lokasi yang mestinya memastikan keselamatan warga negara. "Penyiksaan itu kekerasan yang dilakukan aparat negara di rumah negara atau tempat-tempat yang sejatinya negara menjamin keamanan warganya untuk menggali informasi," lanjut Nasution.

Nasution juga menyinggung APH masih ada yang paradigmanya jadul, misalnya mengejar pengakuan tersangka semata. Ia mendapati untuk mengejar pengakuan itu karena miskin metodologi justru kadang mengedepankan kekerasan.

"Padahal, dalam paradigma baru hukum pidana, pengakuan itu bukan segala-galanya," ujar Nasution.

Nasution menuturkan masih ada APH yang menganggap bahwa kalau tersangka atau terpidana disiksa adalah sesuatu yang wajar karena mereka orang jahat.

"Ini paradigma keliru. Cacat nalar kemanusiaan. Kalaupun mereka salah, mereka sedang mempertanggungjawabkannya secara hukum," tegas Nasution.

Selain itu, Nasution menekankan masalah. Ia menyebut masyarakat yang menjadi korban atau saksi penyiksaan masih ada yang enggan melapor karena kehilangan kepercayaan. Apalagi kalau terduga pelaku adalah APH.

"Polisi misalnya (lakukan penyiksaan). Kemudian dilaporkan ke polisi. Itu jeruk 'makan' jeruk. Kalau pun diproses, paling selesai pada tingkat proses internal atau disiplin," ungkap Nasution.

Oleh karena itu, Nasution meyakini masyarakat yang menjadi korban atau saksi penyiksaan pun takut melapor. Alasannya berurusan dengan polisi, berproses hukum itu merepotkan dan melelahkan.

"Kami mendorong APH agar mengintensifkan koordinasi untuk menyamakan perspektif dan paradigma bahwa tindak pidana penyiksaan itu berbeda dengan kekerasan. Lalu, perlu edukasi dan sosialosasi terus-menerus agar masyarakat berani melapor apabila menjadi korban dan/atau saksi penyiksaan," ujar Nasution.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement