Senin 27 Jun 2022 12:07 WIB

Para ‘King Maker’ dan Berbagai Skenario Pilpres 2024

Para King Maker masih sama sekalipun capresnya bisa berbeda.

Para pimpinan parpol sudah mulai menjalin koalisi untuk Pilpres 2024. Foto ilustrasi Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (kanan) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) memberikan keterangan kepada media usai melakukan pertemuan di Kertanegara, Jakarta, Sabtu (18/6/2022). Dalam pertemuan tersebut, Gerindra dan PKB bersepakat bekerja sama menyiapkan Pileg, Pilpres dan Pilkada di Pemilu 2024 mendatang.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Para pimpinan parpol sudah mulai menjalin koalisi untuk Pilpres 2024. Foto ilustrasi Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (kanan) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) memberikan keterangan kepada media usai melakukan pertemuan di Kertanegara, Jakarta, Sabtu (18/6/2022). Dalam pertemuan tersebut, Gerindra dan PKB bersepakat bekerja sama menyiapkan Pileg, Pilpres dan Pilkada di Pemilu 2024 mendatang.

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, 25 November 2023 menjadi hari terakhir pendaftaran pasangan capres-cawapres 2024. Momentum itu tak lebih dari 1,5 tahun lagi. Relatif tidak lama. Pertemuan bos-bos partai politik dalam beberapa waktu terakhir pun kian intensif. Mereka berebut peluang dan mencari ragam kemungkinan yang paling dekat dengan kemenangan.

Nasdem sudah start lebih awal. Beberapa hari lalu tiga orang diumumkan sebagai bakal capres yang akan diusungnya. Surya Paloh, sebagai bos Nasdem mengumumkan langsung nama Anies Baswedan, Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo. Anies memang sudah lama mesra dengan Nasdem. Sementara Andika tiba-tiba dimunculkan.

Yang menarik adalah ‘pembajakan’ Ganjar. Gubernur Jawa Tengah ini diketahui kader PDIP sampai saat ini. Elektabilitasnya tinggi. Bahkan dalam beberapa survei menjadi pemuncak, di atas tingkat keterpilihan Anies dan Prabowo Subianto. Tetapi restu dari PDIP untuk Ganjar diprediksi akan menemu jalan terjal. Ada Puan Maharani, putri kandung Megawati yang kini sedang dikerek habis-habisan elektabilitasnya untuk ditampilkan dan diadu pada 2024.

Situasi internal PDIP yang tidak kondusif itu dimanfaatkan Paloh. Pesannya jelas, Nasdem siap mengusung siapa pun. Realitas tidak adanya kader yang secara elektabilitas mampu bersaing di Pilpres 2024 membuat Nasdem mengambil langkah zigzag. Salah satu yang diharapkan tak lain adalah untuk mendapat efek ekor jas, berharap suara Nasdem ikut terkatrol.

Tapi Nasdem ini partai menengah. Jumlah kursinya di DPR ‘cuma’ 59. Masih jauh dari angka 115 atau 20 persen dari jumlah kursi di DPR untuk bisa mengusung capres. Artinya, butuh partai lain untuk berkoalisi atau bekerja sama. Lobi-lobi politik pun terus dilakukan Paloh dengan bertemu sejumlah petinggi parpol lainnya, dari PKS, Demokrat, dan lainnya.

Poros kedua yang selangkah lebih konkret adalah Gerindra dengan PKB. Pertemuan kedua ketua umum parpol tersebut beberapa waktu lalu menyepakati untuk bekerja sama di 2024. Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar sepakat menamai kerja sama ini dengan tagline Kebangkitan Indonesia Raya. Frasa itu diambil dari nama kedua partai, Gerakan Indonesia Raya dan Kebangkitan Bangsa.

Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya ini sudah lebih dari cukup untuk ‘berangkat’ ke KPU. Gerindra yang punya 78 kursi, dan PKB 58 kursi sudah melewati ambang batas atau syarat untuk mengusung satu pasangan. Sekali lagi, selangkah di depan Nasdem, setidaknya untuk sampai saat ini.

Mengapa saya menyebut Gerindra dan PKB ini lebih konkret, sebab kedua bos parpol ini sama-sama menjadi tokoh yang hampir pasti akan tampil sebagai kontestan. Belum ada tokoh selain Prabowo di Gerindra yang bisa ‘ditarungkan’ sebagai capres secara elektabilitas. Menteri pertahanan itu tingkat keterpilihannya masih mentereng di papan atas bersama Ganjar dan Anies. PKB pun demikian, ngotot mengusung Muhaimin. Jika berlanjut, Prabowo-Muhaimin sangat mungkin akan mendaftarkan diri sebagai satu pasangan ke KPU November 2023 nanti.

Bagaimana dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang diisi Golkar, PAN, dan PPP? Di atas kertas, koalisi ini juga sudah cukup untuk mengusung satu pasangan calon. Tetapi sejauh ini belum ada tokoh yang dideklarasikan sebagai capres. Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto pun belum pasti. KIB yang sempat ‘menguasai’ ruang opini publik sejak dideklarasikan, kini mulai kendur sejak reshuffle kemarin. Saya tak tahu persis mengapa. Tapi kini suara mereka tak senyaring sebelumnya.

Di sisi lain, muncul spekulasi bahwa pembentukan koalisi ini tak lebih dari sekoci yang disiapkan istana untuk Ganjar Pranowo jika sampai tak dicalonkan PDIP. Soal kebenarannya, nanti waktu yang menjawab. Tetapi ‘restu’ dari Presiden Jokowi pasti akan menjadi rebutan.

Satu lagi yang mungkin menjadi poros adalah PDIP. Partainya Megawati Soekarnoputri ini bisa mencalonkan satu pasangan tanpa berkoalisi dengan partai mana pun. Keputusan PDIP, atau lebih tepatnya keputusan Megawati ini lah nantinya yang akan bisa mengubah konstelasi. Ganjar ataupun Puan yang diusung PDIP, sama-sama akan bisa mengubah peta yang ada. Tetapi apakah PDIP berani berangkat sendiri ke KPU tanpa menggandeng lain partai? Ini yang saya tidak yakin.

Pada akhirnya, Pilpres 2024 masih belum akan berubah. Orang-orang yang menjadi kunci atau ‘king maker’ pun tak banyak berbeda dengan dua kali pilpres terakhir. Mungkin yang dicalonkan tidak sama. Tapi pemegang tiket pencalonan masih itu-itu saja. Suka atau tidak, sistem kita memang demikian. Pencalonan presiden berada di tangan para ketua umum parpol.

Apa yang terjadi saat ini masing sangat mungkin akan berubah sebelum nama calon didaftarkan ke KPU November 2023. Dinamika masih akan terus terjadi sepanjang itu. Peta koalisi juga bukan tidak mungkin akan terbentuk di luar segala prediksi kita. Sekali lagi tergantung mereka, para pemegang tiket pencapresan, yakni ketua umum parpol.

Yang terpenting, semoga kita di bawah ini tak lagi berselisih sampai hilang pertemanan seperti pada 2014 dan 2019. Tak ada gunanya kita ngotot-ngototan berebut ‘paling benar’ atas pilihan masing-masing. Mereka para elite, di atas sana, bisa dengan sangat mudah beralih haluan demi sebuah kepentingan. Jangan pernah terpancing apapun propaganda para pendengung (buzzer). Jangan sampai kita babak belur lagi. Kita harus kapok dengan pengalaman dua pilpres terakhir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement