Sabtu 25 Jun 2022 04:34 WIB

Badut Jalanan yang tak Lagi Menghibur

Kostum badut sudah digunakan untuk mengemis di jalanan.

Kostum badut digunakan untuk mengamen ataupun mengemis di jalanan. (foto ilustrasi).
Foto: ANTARA/Arif Firmansyah
Kostum badut digunakan untuk mengamen ataupun mengemis di jalanan. (foto ilustrasi).

Oleh : Muhammad Fakhruddin, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Pandemi Covid-19 sangat berdampak pada sendi-sendi kehidupan masyarakat. Saat pandemi kita ingat mulai bermunculan dan marak di jalan-jalan raya badut-badut dan manusia silver yang beraksi. Biasanya mereka melakukan aksinya di perempatan jalan.

Ketika di awal-awal pandemi dahulu, keberadaan mereka mungkin masih bisa dimaklumi. Lantaran kondisi dan situasi ekonomi yang memang sangat terdampak pandemi. Badut-badut itu masih terlihat lucu dan menggemaskan dan bahkan tanpa menengadahkan tangan mereka kerap mengundang belas kasihan para pengguna jalan.

Beragam kostum yang mereka kenakan sekaligus memancing perhatian pengguna jalan. Bahkan ada yang lebih kreatif lagi dengan menggunakan konstum robot. Kebetulan saya pernah menyaksikan atraksi salah satu dari mereka yang mengenakan kostum Iron Man. Si Iron Man ini berhasil mencuri perhatian pengguna jalan yang tengah menunggu lampu merah berubah menjadi lampu hijau dengan bergoyang ritmik ala robot mengikuti irama musik.

Pertunjukan yang singkat membuat para pengguna jalan yang menyaksikannya tersenyum-senyum tanda terhibur. Hingga di akhir show, sejumlah pengguna jalan tidak keberatan memberikan saweran ke babang Iron Man karena geregetan dengan tingkah polahnya.   

Di lain sudut jalan, ada badut yang mencuri perhatian anak kecil karena kostum dan ekspresinya yang lucu. Sehingga dari dalam kendaraan, dengan dibimbing orang tuanya, anak kecil itu memberikan uang pecahan Rp 2 ribu.

Keberadaan mereka waktu awal-awal pandemi dulu menghibur dan bisa dimaklumi. Karena situasi pandemi juga biasanya para pengguna jalan memberikan simpatinya tidak hanya berupa uang tapi juga berupa makanan.

Namun, seiring berjalannya pandemi, banyak gelandangan dan pengemis yang melihat peluang ini sebagai cara mudah untuk mendapatkan uang walaupun juga tidak mudah. Yang terjadi sekarang adalah para badut ini tidak lagi menghibur di jalan tapi betul-betul jadi pengemis dengan kostum badut.

Mereka hanya sekedar menyorongkan ember berkas cat sambil menggunakan kostum alakadarnya mendatangi siapa saja di jalan. Tidak hanya ke pengguna kendaraan motor, tapi ke para pejalan kaki dan siapa saja yang dilalui baik itu pembeli yang tengah makan di pecel lele, angkringan, hingga mereka yang tengah nongkrong di kafe pinggir jalan.

Yang lebih memilukan lagi ternyata badut-badut itu masih anak-anak dan usia sekolah. Kadang mereka bergerombol sesama badut dan terkesan ada yang mengorganisir.

Tentu ini jadi problem serius dan tidak semata-mata bisa diselesaikan dengan penertiban oleh satpol PP semata. Perlu ada pembinaan dan program-program pemulihan ekonomi pascapandemi yang lebih terarah dan tetap sasaran.

Seperti yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Salatiga menggencarkan penertiban dan pembinaan terhadap pengemis, gelandangan dan orang telantar (PGOT) yang ada di daerahnya. Beberapa langkah yang dilakukan di antaranya yakni akan diberikan ketrampilan serta pendampingan bagi PGOT yang memiliki motivasi, sebagai bekal untuk bisa bekerja dan akan mampu hidup lebih mandiri. Penertiban kepada PGOT dilakukan secara humanis dan komunikatif.

Ketentuan sanksi bagi pemberi uang kepada pengemis dan pengamen juga tidak diterapkan secara frontal di wilayah Kota Salatiga. Dan yang utama adanya kesadaran dari pemerintah untuk membuka lapangan pekerjaan bagi PGOT karena mereka menjadi pengemis dan anak-anak terlantar karena tidak mendapat akses ke lapangan kerja. Padahal dalam undang-undang disebutkan, anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement