Senin 20 Jun 2022 23:23 WIB

Nabi Muhammad dan Sayyidah Fatimah: Hubungan Ayah-Anak yang Sempurna

Fatimah masih kecil saat baginda Muhammad menjadi Nabi.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
 Muhammad & Fatimah: Hubungan Ayah-Anak yang Sempurna. Foto:  Nabi Muhammad (ilustrasi)
Foto: Republika
Muhammad & Fatimah: Hubungan Ayah-Anak yang Sempurna. Foto: Nabi Muhammad (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Dari ilmu psikologi modern, kita semua mengetahui hubungan ayah-anak memiliki dampak besar pada kehidupan kedua belah pihak. Anak perempuan belajar dengan pria seperti apa mereka harus terikat dan menjalin hubungan berdasarkan jalinan dengan ayah mereka, sementara para ayah belajar bagaimana menjadi lembut, sabar dan penuh kasih dari putri-putri mereka.

Di kehidupan ini, tidak ada hubungan ayah-anak yang lebih besar daripada hubungan Nabi Muhammad SAW dan Fatimah ra. Dengan mempelajari bagaimana mereka berinteraksi, umat Muslim di dunia dapat mencontoh bagaimana hubungan keluarga berjalan dan melihat banyak buah yang tumbuh darinya.

Baca Juga

Dilansir di About Islam, Senin (20/6/2022), Fatimah ra lahir ketika ayahnya Rasulullah mulai menghabiskan waktu lama menyendiri di pegunungan sekitar Makkah. Meski demikian, jarak ini tidak mengubah pola hubungan masa depan mereka.

Ketika baru berusia lima tahun, Fatimah mengetahui jika ayahnya telah menjadi Utusan Tuhan, dan dirinya termasuk di antara sedikit orang pertama yang mendapat hak istimewa untuk menerima pesan itu.

Ketika dia berusia hampir sepuluh tahun, sekelompok kafir Quraisy mendekati Nabi  SAE ketika sedang shalat di Masjid al-Haram. Pemimpin kelompok itu, Abu Jahal, bertanya: 'Siapa di antara kalian yang dapat membawa isi perut hewan yang disembelih dan melemparkannya ke atas Muhammad?'. Mendengar hal tersebut, Uqbah ibn Abi Muayt, salah satu yang paling keji di antara yang lainnya, dengan penuh sukarela bergegas pergi.

Tak lama, ia kembali dengan kotoran yang menjijikkan dan melemparkannya ke pundak Nabi ketika dalam posisi sujud. Seorang sahabat Nabi, Abdullah ibn Masud, berada di tempat yang sama tetapi tidak berdaya untuk melakukan atau mengatakan apa pun.

Fatimah menyaksikan tindakan menyudutkan ini saat ayahnya sedang berdoa kepada Allah SWT. Dia tidak membiarkan kejadian tersebut mempermalukan atau membuatnya takut, bahkan di usianya yang masih muda.

Berdasarkan rasa hormat dan cintanya yang besar untuk sang Ayah, ia pun berdiri teguh melawan penindasan ini. Ia menghapus kotoran dari ayahnya yang masih berdoa dan mencerca pihak-pihak yang melanggar.

Orang Quraisy kafir, yang terkejut dengan reaksi dan keberaniannya, tidak menjawab apa-apa. Fatimah terus membela ayahnya saat diserang dan menghadapi penghinaan dan luka di tangan orang Quraisy di Makkah. Pembelaannya terhadap Rasulullah membawa hati kedua manusia ini semakin dekat.

"Berapa banyak dari kita, sebagai orang dewasa, yang menunjukkan rasa hormat seperti ini kepada ayah kita? Dari kekuatan dan kesetiaan Fatimah, kita bisa belajar apa artinya menjadi anak yang hebat dan mulia," ucap Theresa Corbin, seorang kontributor tetap untuk AboutIslam.net dan majalah Al Jumuah.

Penulis yang berfokus pada tema konversi ke Islam (mualaf), Islamofobia, isu-isu perempuan dan menjembatani kesenjangan antara orang-orang dari agama dan budaya yang berbeda ini menyebut, setiap orang tidak harus berada dalam keadaan yang luar biasa untuk menjadi anak yang luar biasa bagi orang tua. Yang dibutuhkan hanyalah kesetiaan dan rasa hormat.

Mengutip pernyataan Zainab bin Younus, seorang cendekiawan Muslim asal Kanada, dalam kehidupan sering kali terdapat kesalahpahaman. Seorang hanya digambarkan sebagai pencari nafkah, pendukung rumah tangga.

Peran ayah kerap disandingkan sebagai penyedia keuangan daripada pengasuh. Sementara itu, tugas untuk membesarkan anak-anak menjadi milik ibu, yang juga mengajari putrinya apa artinya menjadi seorang gadis dan seorang wanita.

Corbin menyebut kesalahpahaman ini merugikan masyarakat. Ayah juga memiliki peran pengasuhan yang penting dalam kehidupan anak perempuan mereka. Hal ini bisa dilihat secara sekilas dalam hubungan Nabi Muhammad SAW dan anak kelimanya dengan Khadijah ra.

Nabi SAW memiliki tempat khusus di hatinya untuk Fatimah. Aisha ra menyebut, "...Ketika Nabi melihatnya (Fatimah) mendekat, dia akan menyambutnya, berdiri dan menciumnya, memegang tangannya dan mendudukkannya di tempat dia duduk.”

Nabi menunjukkan rasa hormat dan martabat yang besar kepada putrinya, mengajarinya seperti orang-orang di sekitarnya, yang bahkan perlakuan baik terhadap sang putri ini masih menjadi pembelajaran bagi manusia saat ini.

"Berapa banyak ayah yang menunjukkan perhatian dan martabat seperti ini kepada putri mereka? Jarak dan perilaku meremehkan seorang ayah terhadap putrinya tidak memiliki tempat dalam tradisi Islam maupun dalam kehidupan keluarga Muslim saat ini," ujar Corbin.

Nabi Muhammad pernah berkata: “Siapa pun yang menyenangkan Fatimah, maka dia telah menyenangkan Tuhan dan siapa pun yang membuatnya marah, dia benar-benar membuat marah Tuhan. Fatimah adalah bagian dari diriku. Apa pun yang menyenangkannya menyenangkan saya dan apa pun yang membuatnya marah membuat saya marah.” (Bukhori dan Muslim)

Banyak ayah yang menciptakan dan mempertahankan hubungan yang baik dan sehat dengan anak perempuan mereka akan menemukan jika pernyataan tersebut juga berlaku untuk mereka. Apa yang menyakitkan dan membuat marah putri mereka juga menyakitkan dan membuat mereka marah. Hubungan antara ayah dan anak ini tidak dapat disangkal dan berasal dari hubungan yang dipelihara dan cinta alami.

Tidak hanya saling menghormati dan menunjukkan setiap kebaikan satu sama lain, Fatimah dan Nabi Muhammad sering menghibur satu sama lain. Suatu hari Nabi memanggil Fatimah. Ketika Fatimah datang kepadanya, Nabi menciumnya dan berbisik di telinganya.

Setelahnya, Fatimah menangis. Tak lama, Rasulullah kembali berbisik di telinganya dan membuat sang putri tersenyum. Melihat hal ini, Aisha bertanya, “Kamu menangis dan kamu tertawa pada saat yang sama, Fatimah? Apa yang Rasul Allah katakan kepadamu?”

Fatimah menjawab, “Pertama, Dia mengatakan kepada saya bahwa dia akan bertemu Tuhannya setelah beberapa saat dan saya menangis. Kemudian dia berkata kepadaku: 'Jangan menangis karena kamu akan menjadi orang pertama di rumahku yang bergabung denganku.' Jadi aku tertawa.”

Fatimah ra pun tidak bisa berduka lama atas kematian ayahnya, karena dia tau dirinya akan segera mengikutinya. Bahkan, memikirkan kematiannya sendiri membuatnya tertawa karena itu berarti dia bisa segera berada di dekat Rasulullah SAW lagi.

"Ini adalah tanda kenyamanan luar biasa yang dia rasakan dari kehadiran ayahnya, dan seorang ayah yang tahu persis apa yang harus dikatakan untuk menghibur putrinya. Ini adalah contoh luar biasa dari hubungan ayah-anak," tulis Corbin.

Sebuah pemikiran yang bodoh jika menganggap hubungan yang dimiliki Rasulullah SAW dan Fatimah adalah hal yang di luar jangkauan manusia. Anak perempuan dapat belajar dari kesetiaan dan rasa hormat Fatimah yang kuat kepada ayahnya, sementara para ayah dapat belajar dari martabat dan rasa hormat yang ditunjukkan Nabi kepada Fatimah.

"Hubungan ayah-anak adalah salah satu kelembutan, rasa hormat, martabat, dan kenyamanan, dan hubungan Nabi dan Fatimah adalah standar emas," lanjutnya.  

Sumber:

https://aboutislam.net/family-life/moms-dads/muhammad-fatimah-the-perfect-father-daughter-relationship/

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement