Kamis 16 Jun 2022 18:21 WIB

Ulama Arab Saudi Jelaskan Hukum 'Menjilat' Atasan di Tempat Kerja

Hukum 'menjilat' atasan di tempat kerja dijelaskan ulama Arab Saudi.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
 Ulama Arab Saudi Jelaskan Hukum 'Menjilat' Atasan di Tempat Kerja. Foto:  Profesional dalam berbisnis (ilustrasi).
Foto: ist
Ulama Arab Saudi Jelaskan Hukum 'Menjilat' Atasan di Tempat Kerja. Foto: Profesional dalam berbisnis (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sebagian karyawan kantor mungkin sering menemukan kasus di mana ada rekan kerja yang sering kali "menjilat" atasannya agar kepentingannya terpenuhi. Rekan tersebut "menjilat" atasan dengan berusaha meyakinkannya seolah-olah mengetahui segalanya demi mencapai kepentingannya.

Lantas, bagaimana Islam memandang permasalahan tersebut? Ulama senior Arab Saudi, almarhum Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, menyampaikan penjelasan tentang hal tersebut di laman resminya. Syekh Bin Baz pernah menjabat kepala majelis pendiri Liga Dunia Islam dan kepala Majma' Al-Fiqhi Al-Islami (Akademi Fiqih Islam) di Makkah.

Baca Juga

Syekh Bin Baz memaparkan, jika dengan "menjilat" itu menyebabkan pengingkaran terhadap suatu hak, atau memberikan pembuktian maupun keterangan yang palsu, maka itu tidak dibolehkan. Bila tidak mengandung kebohongan apapun, dan tidak merampas hak siapapun itu, maka tidak ada yang salah dengannya.

Seorang Muslim haruslah bersikap jujur dan menghindari jauh-jauh sifat dusta. Jika seorang Muslim merasa butuh memuji orang lain untuk menutupi rasa malunya, maka dia harus melakukan tauriyah.

Tauriyah berbeda dengan bohong. Permisalan tauriyah adalah sebagaimana yang dilakukan Nabi Ibrahim ketika menerima utusan yang dikirim oleh raja yang zalim. Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah SAW mengisahkan ketika Nabi Ibrahim dan istrinya, Sarah, memasuki wilayah seorang raja yang zalim.

Lalu raja tersebut mendapat informasi bahwa ada pria datang bersama seorang wanita yang sangat cantik. Diutuslah seseorang untuk menemui Nabi Ibrahim, dan orang tersebut bertanya, "Siapa wanita ini?" Lalu Nabi Ibrahim menjawab, "Dia saudariku."

Setelah itu, Nabi Ibrahim berkata kepada Sarah, "Wahai Sarah, di bumi ini tidak ada orang beriman kecuali aku dan kamu. Tadi aku ditanya (siapa wanita yang bersamaku), aku jawab kamu adalah saudariku. Maka janganlah mendustakan aku."

Hal tersebut semata-mata dilakukan Nabi Ibrahim hanya untuk melindungi istrinya dari kejahatan raja yang zalim itu. Sebab, dengan menyebut Sarah sebagai saudari Nabi Ibrahim, maka bisa menimbulkan beberapa makna, yaitu saudara seiman atau saudara kandung.

Apa yang dimaksud Nabi Ibrahim AS tentunya adalah sarah sebagai saudara seiman, yang memang benar saudara seiman. Namun, raja yang zalim itu tentu memahaminya sebagai saudara kandung Nabi Ibrahim, sehingga dengan pemahaman tersebut, Nabi Ibrahim berupaya agar raja tidak mengganggu sarah.

Kembali ke konteks "menjilat" atasan di kantor, tentu saja "menjilat" itu bukanlah karakter seorang Muslim. Setiap Muslim patut menyampaikan kebenaran apa adanya dan tidak berkata dusta. Seorang Muslim juga diperintahkan untuk menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kejahatan sebanyak mungkin.

Rasulullah SAW juga telah bersabda bahwa agama adalah nasihat. Dari Tamim ad-Dari, Rasulullah SAW bersabda, "Agama adalah nasihat." Lalu para sahabat bertanya untuk siapa wahai Rasulullah. Beliau SAW bersabda, "Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat kaum Muslimin."

Nasihat bagi kaum Muslimin adalah selain para pemimpin, yaitu dengan mencintai sesuatu untuk mereka sebagaimana mencintai untuk diri sendiri, menunjukkan maslahat kepada mereka, mengajarkan masalah agama dan dunia kepada mereka.

Sumber:

https://binbaz.org.sa/fatwas/1042/%D8%AD%D9%83%D9%85-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%AC%D8%A7%D9%85%D9%84%D8%A9 https://islamweb.net/ar/fatwa/206389/

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement