Selasa 14 Jun 2022 19:26 WIB

KLHK Pastikan Perhutanan Sosial tak Dimiliki 'Orang Kota'

Perhutanan sosial disebut akan dimiliki masyarakat sekitar hutan.

Rep: Febryan A/ Red: Ilham Tirta
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK, Bambang Supriyanto (kiri).
Foto: ANTARA/Wahdi Septiawan
Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK, Bambang Supriyanto (kiri).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengambil alih 1,1 juta hektare hutan di Pulau Jawa untuk berbagai kepentingan, salah satunya untuk perhutanan sosial. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun memastikan perhutanan sosial itu akan dimiliki masyarakat sekitar hutan.

"Kelompok perhutanan sosial (KPS), orangnya memang harus warga lokal yang tinggal dan menggarap di situ. Jangan sampai lokasi KHDPK perhutanan sosial itu dimiliki orang kota," kata Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Supriyanto dalam siniar Forest Digest, dikutip Selasa (14/6/2022).

Baca Juga

Pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 287 menetapkan 1.103.941 hektare (ha) Hutan Produksi dan Hutan Lindung di Pulau Jawa menjadi Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). Hutan seluas 1,1 juta hektare itu sebelumnya merupakan area kelola Perum Perhutani.

Lewat SK tertanggal 5 April 2022 itu, pemerintah akan menggunakan 1,1 juta hektare hutan tersebut untuk sejumlah kepentingan. Beberapa di antaranya adalah untuk perhutanan sosial dan rehabilitasi hutan.

Untuk memastikan perhutanan sosial benar-benar digarap warga sekitar hutan, lanjut Bambang, pihaknya akan mengoptimalkan peran pendamping. Para pendamping perhutanan sosial harus mendata dan melihat kembali apakah anggota KPS benar warga setempat atau bukan.

Bambang menjelaskan, memastikan perhutanan sosial dikelola warga lokal perlu dilakukan karena tak boleh lagi kesalahan lama berulang. Kesalahan itu adalah adanya perhutanan sosial yang dikelola oleh warga kota.

"Kalau pengalaman kita terdahulu, memang terjadi itu di masa lalu. Lokasi hutannya di daerah, tapi yang punya (perhutanan sosial) orang kota," ujarnya.

Anggota Komisi IV DPR, Darori Wonodipuro mempertanyakan eksistensi hutan lindung di Pulau Jawa setelah kebijakan pengambilalihan ini. Ia meragukan kelestarian hutan ketika dikelola dalam skema perhutanan sosial. Sebab, dirinya sejauh ini telah menerima 10 pengaduan terkait perhutanan sosial yang dijual ataupun disewakan.  

Darori pun meminta Menteri LHK untuk mengkaji kembali kebijakan tersebut. Dia takut kebijakan dengan niat awal baik itu berakhir dengan petaka deforestasi. "Jangan sampai kita meninggalkan masalah baru," kata eks Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam KLHK (2007-2014) itu.

Sementara itu di Jawa Tengah, warga yang tergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) se Kabupaten Blora meradang mendengar kebijakan perhutanan sosial terbaru ini. Mereka mengaku siap baku hantam jika perhutanan sosial diberikan kepada warga luar Blora.

"Ketua Asosiasi LMDH se Kabupaten Blora menyampaikan bahwa kalau izin itu (perhutanan sosial) diberikan kepada orang luar Blora, mereka sudah siap bacok-bacokan. Nah ini kan membuat daerah jadi tidak kondusif," kata Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Bappeda Pemerintah Kabupaten Blora, Puji Ariyanto mewakili Bupati Blora, beberapa waktu lalu.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement