Selasa 14 Jun 2022 19:07 WIB

Kejati DKI Jakarta Tetapkan Dua Tersangka Kasus Dugaan Mafia Tanah

Negara dirugikan sekitar Rp 17,7 miliar dari pembebasan lahan di Cipayung.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus raharjo
Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta di Kuningan, Jakarta Selatan.
Foto: Dok Kejati DKI
Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta di Kuningan, Jakarta Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta menetapkan dua orang sebagai tersangka dugaan kasus yang disebut kejaksaan sebagai mafia tanah di Cipayung, Jakarta Timur (Jaktim), Selasa (14/6/2022). Dua tersangka tersebut berinisial LD dan MTT.

Keduanya dituduh melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) berupa penggelapan uang anggaran belanja Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta 2018 senilai Rp 46,4 miliar. Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasi Penkum) Kejati DKI Jakarta, Ashari Syam menerangkan, LD ditetapkan sebagai tersangka terkait perannya sebagai notaris. Sedangkan MTT, merupakan tersangka dari pihak swasta.

Baca Juga

“LD, dan MTT resmi ditetapkan sebagai tersangka sejak Senin (13/6/2022),” kata Ashari dalam siaran pers yang diterima wartawan di Jakarta, Selasa (14/6/2022).

Ashari menjelaskan, perkara dugaan mafia tanah ini, bermula pada 2018. Saat itu, Dinas Kehutanan Pemprov DKI Jakarta melakukan pembebasan lahan di RT 008/RW 03 Kelurahan Setu, Kecamatan Cipayung, Jaktim. Pembebasan lahan tersebut, dilakukan terhadap delapan pemilik lahan yang direncanakan untuk membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH) DKI Jakarta.

Namun dalam pembebasan lahan tersebut, tak ada dalam dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (PPT). Pun, dikatakan Ashari, dari penyidikan, pembebasan lahan tersebut, tak ada dalam Peta Informasi Rencana Kota dari Dinas Tata Kota.

“Bahkan, tidak ditemukan adanya permohonan informasi aset kepada Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD). Dan tidak ada persetujuan dari Gubernur Provinsi DKI Jakarta,” ujar Ashari.

Gubernur DKI Jakarta pada saat kasus ini terjadi, adalah Anies Baswedan. Ashari melanjutkan, terkait dengan pembebasan lahan tersebut, LD dan MTT bekerja sama dengan para pemilik lahan, agar Dinas Kehutanan DKI Jakarta dapat melakukan pembebasan.

“Dalam kerja sama antara LD, dan MTT itu, keduanya melakukan pengaturan dan pembentukan harga terhadap delapan pemilik sembilan lahan bidang tanah,” ujar Ashari.

Dalam pengaturan dan pembentukan harga tersebut, disepakati nilai ganti rugi, senilai Rp 1,6 juta per meter. Akan tetapi, LD dan MTT mengajukan harga pembebasan lahan ke Dinas Kehutanan DKI Jakarta, senilai Rp 2,7 juta per meter. “Sehingga total pembayaran yang harus dilakukan sebesar Rp 46,49 miliar” kata Ashari.

Ashari menambahkan, dari penelusuran penyidik, diketahui LD dan MTT, memberikan nilai ganti rugi pembebasan sembilan bidang lahan kepada delapan pemilik, dengan total harga Rp 28,7 miliar. Sehingga, dikatakan Ashari, ada selisih Rp 17,7 miliar yang diduga sebagai kerugian negara.

“Dari (Rp) 17,7 miliar tersebut, kemudian dibagi-bagikan kepada sejumlah oknum di Dinas Kehutanan DKI Jakarta, melalui tersangka MTT,” kata Ashari. Atas perbuatan tersebut, tersangka LD, dan MTT untuk sementara dijerat dengan sangkaan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 13 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b UU 31/1999-20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Juga Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement