Rabu 08 Jun 2022 14:57 WIB

Petani: Separuh Panen Cabai Rusak Akibat Cuaca Tak Menentu

Baru kali ini petani cabai menghadapi perubahan cuaca yang cepat dan ekstrem.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Fuji Pratiwi
Buruh tani memanen cabai rawit di area persawahan Desa Paron, Kediri, Jawa Timur, Selasa (8/3/2022). Dampak perubahan iklim dirasakan nyata oleh petani karena berimbas pada cuaca tak menentu sehingga menganggu pola tanam cabai.
Foto: ANTARA/Prasetia Fauzani
Buruh tani memanen cabai rawit di area persawahan Desa Paron, Kediri, Jawa Timur, Selasa (8/3/2022). Dampak perubahan iklim dirasakan nyata oleh petani karena berimbas pada cuaca tak menentu sehingga menganggu pola tanam cabai.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gejolak harga cabai kembali dirasakan masyarakat karena melonjak hingga Rp 100 ribu per kilogram (kg) dari kondisi normal di bawah Rp 40 ribu per kg. Dampak perubahan iklim dirasakan nyata oleh petani karena berimbas pada cuaca tak menentu sehingga menganggu pola tanam cabai.

Ketua Asosiasi Champion Cabai, Tunov Mondro Atmodjo, menuturkan, turunnya hujan dan cuaca panas ekstrem yang bergantian hampir setiap hari menjadi membuat produksi cabai rusak hingga lebih dari separuh.

Baca Juga

"Curah hujan sangat tinggi, dan giliran panas itu luar biasa. Saya tidak tahu ini badai atau apa. Ini yang paling bahaya dan ditakutkan petani," kata Tunov kepada Republika.co.id, Rabu (8/6/2022).

Ia menjelaskan, pada pertengahan tahun ini biasanya memasuki musim kemarau sehingga semestinya tidak terdapat gangguan. Apalagi jumlah luasan tanam sedang luas-luasanya karena permintaan bibit dan pupuk juga sedang tinggi.

Namun, akibat situasi cuaca yang ekstrem nyatanya berdampak pada kegagalan produksi. Menurut Tunov, baru tahun ini ia mengalami perubahan cuaca yang cepat dan ekstrem.

"Misalkan hujan atau panas terus kita bisa siapkan antisipasi. Tapi kalau cuaca ganti-ganti, serba susah. Kita bahkan tidak tahu sekarang musim apa," ujarnya.

Tunov mencontohkan, di saat musim kemarau seperti sekarang, untuk mengantisipasi hama petani akan menggunakan obat-obatan. Nyatanya, hujan turun kurang dari sehari setelah penyemprotan obat dilakukan.

"Ya jelas obat-obatannya hilang terkena air. Giliran kita tidak semprot, ternyata cuacanya panas. Hama menyerang tanaman," kata Tunov.

Akibat situasi cuaca yang fluktuatif itu, anjloknya produksi tak terbendung dan mengerek kenaikan harga hingga Rp 80 ribu per kilogram (kg) cabai rawit dari petani.

Senada Tunov, Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia, Abdul Hamid, mengaku para petani cabai keliru dalam memprediksi cuaca.

"Mestinya sekarang tidak ada hujan, harusnya sekarang musim kemarau," katanya.

Ia mengatakan, pasokan panen pada Mei-Juni semestinya pasokan cabai dalam kondisi melimpah karena panen raya cabai dimulai bulan April. Hanya saja, perkiraan itu meleset sehingga harga naik dan terasa hingga level konsumen.

Meski begitu, pihaknya berharap situasi harga yang tinggi seperti sekarang tidak berlangsung lama. "Mudah-mudahan tidak lama, mungkin sekitar satu bulan ke depan karena akan panen raya dari cabai yang ditanam bulan Maret," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement