Kamis 02 Jun 2022 14:50 WIB

Kesadaran Industri Pariwisata DIY akan Kebutuhan Wisata Halal Masih Rendah

Tidak banyaknya industri pariwisata di DIY yang mengurus sertifikasi halal.

Rep: Silvy Dian Setiawan / Red: Hiru Muhammad
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) DIY menyebut, kesadaran pelaku industri pariwisata di DIY untuk menghadirkan wisata halal masih rendah.   Warga berwisata di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Selasa (24/5/2022). Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan HB X mengizinkan pelepasan masker di kawasan Malioboro sejak tiga hari terakhir. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Andreas Fitri Atmoko
Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) DIY menyebut, kesadaran pelaku industri pariwisata di DIY untuk menghadirkan wisata halal masih rendah. Warga berwisata di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Selasa (24/5/2022). Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan HB X mengizinkan pelepasan masker di kawasan Malioboro sejak tiga hari terakhir. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Industri pariwisata di DIY masih belum seluruhnya didukung dengan menghadirkan wisata halal. Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) DIY menyebut, kesadaran pelaku industri pariwisata di DIY untuk menghadirkan wisata halal masih rendah.

Hal ini terlihat dari tidak banyaknya industri pariwisata di DIY yang mengurus sertifikasi halal. Padahal, saat ini halal sudah menjadi kebutuhan bagi masyarakat, termasuk di sektor pariwisata.

Baca Juga

"Kalau kita melihat di industri pariwisata, sepertinya tidak lengkap kalau tidak tercermin disitu tulisan halal, baik dari transportasi, hotel, kuliner dan lainnya. Belum semua pihak mempunyai kesadaran, apakah masalah halal sebagai kebutuhan wisatawan itu di-support atau tidak," kata Direktur LPPOM MUI DIY, Tridjoko Wisnu Murti kepada Republika belum lama ini.

Tri menyebut, sebagian besar wisatawan yang masuk ke DIY sendiri merupakan wisatawan domestik. Setidaknya, katanya, 95 persen wisatawan yang masuk ke DIY merupakan wisatawan domestik.

 

Sedangkan, perekonomian di DIY sebagian besarnya juga didukung oleh sektor pariwisata. Ia menegaskan agar industri pariwisata dapat memahami karakteristik dari wisatawan nusantara, yang mana produk dan jasa dengan label halal akan lebih dilirik dibandingkan yang tidak memiliki label halal.

"Jangan pandang wisatawan nusantara itu tidak berguna, jangan hanya berpikir dollar yang hanya lima persen dan tidak bisa men-suppport semua kebutuhan hotel. Faktanya wisatawan mancanegara bukan lari ke hotel-hotel berbintang, tapi istilahnya backpacker mayoritas," ujarnya.

Untuk itu, meningkatkan kesadaran pelaku usaha pariwisata terkait dengan wisata halal ini masih perlu dilakukan di DIY. Tri pun mengimbau agar asosiasi-asosiasi yang bergerak di sektor pariwisata untuk ikut berkontribusi dalam mewujudkan wisata halal di Indonesia, khususnya di DIY.

"DIY masih butuh dorongan lagi, kita peran LPPOM MUI itu cukup maksimal, tapi instansi lain dan asosiasi juga perlu turun tangan. Kesadaran itu masih harus dibagun diantara anggota PHRI, Asita sebagainya belum muncul keinginan untuk memperkuat diri (dengan wisata halal)," jelas Tri.

Tri menjelaskan, sudah lebih dari lima ribu pelaku industri yang mengurus sertifikasi halal. Tidak hanya industri pariwisata, namun juga industri lainnya seperti kosmetik.

"Lima ribuan lebih (yang sudah bersertifikasi halal), ada pangan, kosmetik, ada jasa, lengkap dan juga ada hotel, resto dan segala macam. Kira-kira ada 16 macam kelompok (yang bersertifikat) halal itu," tambahnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement