Senin 30 May 2022 16:37 WIB

Airlangga: RI Butuh 25 Persen PDB untuk Transisi Ekonomi Berbasis EBT

Ini untuk membiaya komitmen Indonesia dalam pengurangan emisi karbon pada 2030.

Rep: ANTARA/ Red: Fuji Pratiwi
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut Indonesia membutuhkan biaya setidaknya 25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk transisi ke ekonomi berbasis energi baru dan terbarukan (EBT).
Foto: Kemenko Perekonomian
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut Indonesia membutuhkan biaya setidaknya 25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk transisi ke ekonomi berbasis energi baru dan terbarukan (EBT).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut Indonesia membutuhkan biaya setidaknya 25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk transisi ke ekonomi berbasis energi baru dan terbarukan (EBT).

"Ini untuk membiaya komitmen kita dalam pengurangan emisi karbon pada 2030," ungkap Airlangga dalam Indonesian Financial Group (IFG)International Conference 2022 di Jakarta, Senin (30/5/2022).

Baca Juga

Berdasarkan Perjanjian Paris, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon yang signifikan pada tahun 2030 dan emisi nol karbon bersih pada tahun 2060. Bagi Indonesia, Airlangga menjelaskan, komitmen emisi nol karbon bersih pada 2060 merupakan fokus utama lantaran Indonesia termasuk dalam 10 besar negara dengan emisi karbon terbesar atau menyumbang sekitar dua persen dari total emisi global pada pada 2020.

Selain itu, 60 persen industri energi di Tanah Air masih berbasis pada sumber tak terbarukan, seperti pembangkit listrik tenaga batu bara. Dengan demikian, ekosistem lingkungan rendah emisi karbon kini terus berkembang di Tanah Air maupun dunia dan menjadi landasan bagi aspirasi Indonesia untuk menjadi negara industri tangguh pada 2035.

"Dalam hal ini, PDB per kapita Indonesia diproyeksikan akan mencapai sekitar 15 ribu dolar AS hingga 20 ribu dolar AS," ucap dia.

Untuk menjadi negara industri tangguh, ia menuturkan kapasitas pembiayaan yang substansial sangat diperlukan sehingga peran pembiayaan luar negeri menjadi penting, khususnya pada masa transisi. Selain itu, sumber dana domestik substansial juga diperlukan untuk pembiayaan berkelanjutan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement