Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Trimanto B. Ngaderi

Lamang (Cerpen)

Sastra | Wednesday, 25 May 2022, 11:33 WIB

LAMANG

oleh: Trimanto B. Ngaderi

Tak seperti biasanya, hari ini Pondok Pesantren Darul Ilmi di Lubuk Basung memiliki kesibukan luar biasa. Para santri putra ada yang sedang memasang panggung dan tenda di halaman utama pondok. Ada yang memasang spanduk di pintu gerbang, umbul-umbul di sepanjang jalan menuju pondok. Ada yang membersihkan ruangan kelas, mengepel masjid, atau memangkas tanaman perindang.

https://cdn-2.tstatic.net/tribunnews/foto/bank/images/sajian-lamang-khas-minangkabau.jpg

Sedangkan para santri putri semuanya berada di dapur umum pondok. Mereka sedang memasak masakan khas Minangkabau. Ada pembagian tugas. Ada yang memasak sala lauak[1], lempong sagu, bubur kampiun, palai rinuak[2], juga dendeng balado. Sedang si istri Buya dibantu para ustadzah memasak rendang, kalio baluik[3] dan sate Padang.

Pondok sedang mempersiapkan diri. Esok hari akan kedatangan tamu dari negeri Pattani, Thailand selatan. Mereka berasal dari sebuah madrasah diniyah yang pendirinya berasal dari Minangkabau juga. Tujuan kunjungan mereka adalah studi banding dalam rangka pengembangan pendidikan agama.

“Tak mungkin kita menjamu mereka dengan makanan daerah lain, apalagi makanan asing”, kata Buya Yasril Hasbullah kepada Yusnidar, istrinya.

“Benar, saya setuju. Mereka harus merasakan lezatnya makanan khas kita”.

“Tapi ada satu lagi yang mesti ada, lamang tapai[4]”.

“Khusus yang itu kita membeli ke Pasar Usang saja, di sana ada Uda Ramli yang dagangannya sudah terkenal enak”, balas istrinya.

Tanpa berpikir panjang, Buya Yasril segera menuju Honda Vespa kuno berwarna kuning miliknya untuk kemudian pergi ke pasar. Cuaca pagi itu tampak cerah, walau hawanya tetap dingin. Gunung Singgalang yang masih diselimuti kabut berwarna putih susu terasa sejuk dipandang mata. Udara segar dan angin semilir lembut seakan disemburkan dari Danau Maninjau yang terletak tak begitu jauh.

Sesampainya di tempat tujuan, Buya Yasril segera menuju kios Uda Ramli yang terbuat dari papan kayu dan berada di pasar bagian belakang. Ia sangat gembira ketika mendapati Uda Ramli sudah berada di kiosnya dan terlihat sedang mempersiapkan dagangannya. Kios masih terlihat sepi.

“Selamat datang di kios saya, Buya. Tumben, pagi-pagi banget sudah sampai kemari. Adakah yang bisa saya bantu?” sapa Uda Ramli ramah.

“Kebetulan sekali Uda baru saja buka kios. Saya hendak membeli lamang tapai untuk hajatan pondok”.

“Silakan Buya, dengan senang hati. Berapa yang Buya butuhkan?”

“Saya ingin membeli semua dagangan Uda”.

“Semua?” tanya Uda Ramli sembari membelalakkan matanya. Ia pandangi Buya lekat-lekat, seolah-olah tak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Iya, semuanya. Mengapa Uda Ramli justru tampak terkejut?” tanya Buya heran.

“Tidak mungkin saya menjual semua dagangan saya kepada Buya. Bagaimana dengan pelanggan saya yang lain”.

“Lho, Uda ini aneh. Kalau saya membeli semuanya berarti dagangan Uda laku, habis ini Uda bisa pulang”, sahut Buya berusaha memberi penjelasan yang dianggapnya masuk akal.

“Tidak bisa Buya. Hari ini saya harus berjualan dan tetap melayani pelanggan-pelanggan saya”, jawab Uda tegas.

“Tolonglah Uda. Saya sangat membutuhkannya. Saya berani membayar lebih”, pinta Buya sedikit merajuk.

“Maaf, sekali lagi tidak bisa”.

Percakapan mendadak terhenti, karena ada pelanggan Uda yang datang dan membeli beberapa potong lamang tapai. Sesaat kemudian, pelanggan berikutnya mulai berdatangan dan Uda Ramli disibukkan dalam melayani para pembelinya.

Buya Yasril menghela napas panjang. Ia pun akhirnya menyerah. Selanjutnya, ia menuju ke lapau[5] yang berada di seberang kios Uda Ramli. Ia memesan kawa daun[6] yang disajikan di dalam tempurung kelapa dan dialaskan selonjong bambu, ditambah sepiring kecil pisang kapik. Sudah puluhan tahun ia berlangganan di lapau ini, terutama setiap kali ia pergi ke pasar. Lubuk Basung yang berhawa dingin, paling cocok minum kopi disertai camilan ringan.

Sembari menikmati hangatnya kawa daun, Buya Yasril terus memandangi Uda Ramli yang terlihat sibuk melayani para pelanggannya. Ia masih tak habis pikir, mengapa Uda menolak ketika barang dagangannya hendak dibeli semuanya. Bukankah ia bisa segera pulang, beristirahat di rumah atau melakukan pekerjaan lainnya. Apalagi jika ia mau dibayar lebih, tentu ia akan mendapatkan keuntungan berlipat.

“Ahhh......” ia mendesah panjang. Lalu kembali menyeruput kopi di hadapannya. Menyeruput lagi, dan lagi. Kenikmatan kawa daun pelan-pelan dapat menghilangkan kegelisahannya. Minuman hangat yang rasanya seperti teh sedikit kekopi-kopian itu mampu membuatnya rileks dan segar.

Buya Yasril kembali fokus mengamati Uda Ramli di seberang sana. Uda Ramli nampak sangat menikmati pekerjaannya. Ia selalu tersenyum, melayani para pelanggan dengan penuh keramahan dan ketulusan. Sabar, telaten, sekaligus periang. Sesekali ngobrol santai dengan pembeli. Beberapa di antaranya betah ngobrol berlama-lama. Bahkan, Buya Yasril sendiri terkadang berkunjung ke kios itu tidak hendak membeli lamang, tapi hanya ingin mengobrol dengan Uda yang memang karakter orangnya mengasyikkan. Pun, tak jarang ia pandai berkelakar.

***

“Mana lamang tapainya?” tanya Yusnidar keheranan melihat suaminya pulang dengan tangan hampa. “Apa Uda Ramli hari ini tidak jualan?” tanyanya lagi.

“Bukannya tidak jualan, tapi dia keberatan lamangnya aku beli semua”.

“Aneh. Sombong sekali dia. Mengapa bisa begitu?” tanyanya penasaran.

“Sudahlah tidak usah dibahas dulu. Kita masih punya simpanan ketan dan kelapa. Minta beberapa santri putra untuk menebang pohon bambu di belakang pondok. Kita masih punya cukup waktu untuk membuat lamang tapai sendiri”.

Usai berkata demikian, Buya Yasril segera keliling pondok untuk mengecek persiapan acara besok pagi. Sedangkan Yusnidar masih tampak geleng-geleng kepala menghadapi kenyataan yang baru saja dialami.

***

Sekitar jam satu siang, rombongan tamu dari Pattani telah tiba. Mereka berjumlah dua puluh orang. Di antaranya ada beberapa wanita dan anak-anak. Pemimpin rombongan berjalan paling depan dan mengenakan pakaian serba putih dan kopiah ala orang Melayu. Walau tampak lelah setelah menempuh perjalan jauh, wajah mereka tetap berseri-seri dan terlihat bahagia.

Mereka disambut dengan Tari Pasambahan[7] di pintu gerbang pondok pesantren. Kemudian, mereka dibawa ke aula utama pondok untuk dijamu makan siang. Tampak mereka makan dengan sangat lahap dan begitu menikmatinya. Beberapa di antara mereka berkali-kali melontarkan pujian terhadap makanan yang disajikan. Ketika ada yang memuji kelezatan lamang tapai, Buya Yasril nampak puas dan berseri-seri. Ternyata lamang buatannya juga terasa lezat, tak kalah lah dengan lamang Uda Ramli. Setelah jamuan makan usai, para tamu dipersilahkan untuk beristirahat di kamar-kamar yang telah disediakan.

Pada malam harinya diadakan dialog terbuka. Dimulai oleh Buya Yasril Hasbullah sebagai pimpinan pondok pesantren. Ia menceritakan secara panjang lebar tentang pondok pesantren, mulai dari sejarah berdirinya, visi-misi, sistem pendidikan, keunggulan dan prestasi, jumlah santri, para alumni, hingga perkembangan dan kondisi saat ini. Termasuk pula kendala-kendala dan masalah yang sedang dihadapi.

Selanjutnya giliran yang berbicara dari rombongan tamu yang diwakili oleh Ustadz Afrizal Amrullah. Awalnya ia bercerita bahwa kakek buyutnya juga berasal dari Minangkabau. Pada masa Tanam Paksa pendudukan Belanda, kakeknya melarikan diri dengan menumpang kapal dagang yang hendak berlayar menuju ke Kalkuta, India. Kapal singgah beberapa hari di Pattani. Singkat cerita, kakeknya yang saat itu masih muda tidak jadi melanjutkan perjalanan karena tertarik dengan seorang gadis lokal. Ia kemudian menikahi gadis itu dan menetap di sana. Selanjutnya, kakeknya aktif mendakwahkan Islam, karena pada waktu itu di Pattani masih sangat sedikit orang yang memeluk Islam.

Ustadz Afrizal menambahkan, penyebab kakeknya melarikan diri ke Pattani adalah ia merasa sangat kesal dengan pemerintah kolonial yang memberlakukan kerja Tanam Paksa. Para pribumi dipaksa untuk menanam kopi, tapi seluruh hasilnya diangkut ke negeri Eropa. Pribumi dilarang meminum biji kopi barang sebutir pun. Laksana seekor binatang, pribumi hanya diperah tenaganya habis-habisan, sementara tak sedikit pun menikmati hasilnya.

Setelah menetap di Pattani, kakeknya mendirikan surau sebagai tempat ibadah harian sekaligus sebagai tempat belajar agama Islam bagi penduduk lokal. Sang kakek mengajari mereka membaca Al Qur’an, tatacara shalat, aqidah dan akhlaq, menulis huruf Arab, termasuk mengajari mereka bertani dan berdagang. Kian hari semakin bertambah banyak orang yang memeluk agama Islam, sehingga muncullah ide untuk membuat sebuah madrasah. Nah, Ustadz Afrizal inilah generasi ketiga yang mengelola madrasah tersebut.

Usai menceritakan gambaran umum madrasah yang diasuhnya, Ustadz Afrizal diberi kehormatan untuk memberikan taushiyah wa mau’izhatul hasanah kepada para santri Ponpes Darul ‘Ilmi. Selain mengelola madrasah, ia juga seorang pedagang yang sukses dan kaya, maka materi yang disampaikan lebih banyak terkait tentang kewirausahaan dan dunia bisnis.

Ia sangat menekankan bahwa kunci utama sukses dalam berbisnis adalah kejujuran. Dalam skala kecil, seperti jujur dalam hal timbangan, jujur dalam hal kualitas barang, dan jujur dalam soal harga. Sedangkan jujur dalam skala besar, misalnya menepati janji, menjalankan amanah, komitmen terhadap perjanjian tertulis maupun tidak tertulis, serta kepercayaan.

Ia juga mengatakan bahwa tujuan utama dalam berbisnis adalah ibadah, dalam arti mencari rejeki agar bisa digunakan dalam rangka ketaatan kepada Allah. Berdagang tidak sekedar berdagang, tapi lebih kepada pengabdian, pelayanan, rasa syukur, dan sarana dakwah. Maka, pedagang yang seperti ini tidak akan tergiur oleh rejeki nomplok, keuntungan besar sesaat, melakukan monopoli, atau berorientasi materi semata. Ia akan mengutamakan nilai kekeluargaan, rasa kemanusiaan, serta menebarkan rahmat bagi semesta.

Mendengar ceramah Ustadz Afrizal barusan, mendadak Buya Yasril teringat akan Uda Ramli. Mungkinkah Uda Ramli adalah tipe pedagang sebagaimana digambarkan dalam ceramah itu. Benarkah penolakan terhadapnya ketika hendak memborong lamang merupakan wujud dari prinsip-prinsip dagang yang berketuhanan.

Sejurus kemudian, ia mohon diri dari forum dialog itu. Ia mengambil air wudhu dan menuju ke kamarnya untuk shalat dua rakaat. Usai salam, ia banyak mengucapkan istighfar.

Ya Allah, Tuhan Yang Mahapengampun. Ampunilah segala kekhilafan hamba, ampunilah segala kebodohan hamba. Hamba yang selama ini dipercaya oleh umat untuk memimpin dan membimbing mereka, tempat mereka bertanya, tempat mereka mencari keteladanan; justru hamba tiadalah berarti apa-apa. Lindungilah dan rahmatilah Uda Ramli, yang lebih memiliki pengalaman ruhani, kekayaan batin, serta kekuatan iman yang tidak biasa. Terima kasih ya Allah, telah memperkenankan hamba untuk belajar tentang hakikat kehidupan kepada seorang pedagang di pasar. Amin.

Kemudian ia bersujud cukup lama. Hanyut dalam isak tangis kekerdilan diri. Tubuhnya gemetar. Lantunan istighfar terus bergumam dari bibirnya.

[1] Bakso yang disajikan dengan cara digoreng dengan bahas dasar ikan yang dihaluskan dicampur adonan tepung.

[2] Pepes ikan berbahan dasar ikan rinuak yang bentuknya seperti ikan teri, dan banyak diperoleh di Danau Maninjau.

[3] Rendang yang dimasak setengah jadi sehingga warnanya seperti cokelat muda.

[4] Beras ketan yang dimasak dengan santan kelapa dan dimasukkan ke dalam bambu, kemudian dibakar di atas bara api, biasanya disajikan dengan tape ketan hitam.

[5] Kedai kopi

[6] Kopi yang dibuat bukan dari bijinya, melainkan dari daunnya.

[7] Tarian untuk menyambut tamu kehormatan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image