Ahad 29 May 2022 02:17 WIB

Keterlambatan Penanganan Jadi Penyebab Sulitnya Pengobatan Gagal Jantung

PERKI disebut konsisten berusaha memperbaiki tatalaksana pengobatan gagal jantung.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ilham Tirta
Gagal Jantung (ilustrasi).
Foto: Republika
Gagal Jantung (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PP Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Dr dr Isman Firdaus mengungkapkan, penyakit komorbid menjadi faktor utama yang mempersulit pengobatan gagal jantung. Selain itu, kesulitan pengobatan gagal jantung disebabkan keterlambatan penanganan dan adanya hambatan mengakses layanan kesehatan karena berbagai faktor penentu, yaitu sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesadaran kesehatan masyarakat.

"Karena itu, penyediaan akses obat-obatan penyakit kardiovaskular sangat penting dan perlu diprioritaskan ke dalam agenda nasional maupun global," ujarnya dalam keterangan, Sabtu (28/5/2022).

Baca Juga

Ia menambahkan, PERKI dengan Kelompok Kerja (Pokja) gagal jantungnya konsisten berusaha memperbaiki tatalaksana gagal jantung melalui pengobatan, pencegahan, dan edukasi. Dalam mendukung pengobatan penyakit gagal jantung sendiri, saat ini telah terdapat temuan baru tentang penggunaan obat yang dapat digunakan untuk penyakit gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi (HFrEF).

Pengobatan terbaru ini menggunakan golongan SGLT2-inhibitor yang merupakan salah satu dari empat pilar utama pengobatan HFrEF. Salah satu obat SGLT2-inhibitor yang ada di Indonesia adalah Empagliflozin, yang pada 4 Maret 2022 lalu, telah mendapatkan persetujuan dari Badan POM.

Obat itu untuk indikasi pengobatan pasien dewasa dengan gagal jantung kronik yang bergejala akibat fraksi ejeksi yang menurun atau yang lebih dikenal dengan Heart Failure with reduced Ejection Fraction/HFrEF.

Empagliflozin dapat menjadi harapan baru dalam pengobatan penyakit gagal jantung HFrEF, karena telah lulus melalui uji klinis dan disetujui oleh BPOM. Persetujuan BPOM ini didasarkan pada hasil studi empagliflozin untuk pengobatan HFrEF, yaitu studi EMPEROR-Reduced yang dipublikasikan pada tahun 2020.

"Hasil dari studi tersebut menemukan bahwa empagliflozin yang diberikan dengan pengobatan standar HFrEF lainnya, terbukti dapat menurunkan risiko relatif kematian kardiovaskular atau rawat inap akibat gagal jantung sebesar 25 persen, menurunkan risiko rawat inap berulang akibat gagal jantung sebesar 30 persen dan membantu memperlambat penurunan fungsi ginjal pada pasien HFrEF," ungkapnya.

Head of Medical Zuellig Pharma Therapeutics Indonesia, dr Constantine Heryawan berpendapat, kedepannya masih banyak penelitian empagliflozin dalam bidang kardiovaskular yang dapat memberikan harapan baru bagi pasien-pasien dengan penyakit jantung. “Kami berkomitmen dan berharap dapat terus berkolaborasi dengan asosiasi medis seperti PERKI dan Pokja Gagal Jantung, begitu juga dengan dokter-dokter di Indonesia untuk mengembangkan tatalaksana gagal jantung, melalui edukasi, program untuk pasien, atau bahkan penelitian klinis," kata dia.

Sementara, Aylie Widjaja selaku Chief Operating Officer Zuellig Pharma Therapeutics menekankan pentingnya meningkatkan kesadaran tentang penyakit jantung, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga untuk orang-orang di sekitar kita. Menurunkan beban penyakit kardiovaskular di Indonesia tidak hanya tugas salah satu pihak, namun peran semua lapisan masyarakat.

"Kami berharap dengan adanya terapi baru dalam penanganan gagal jantung ini dapat memberikan dampak positif pada kualitas hidup dan kepercayaan diri pasien maupun calon pasien yang akan datang, dan tentunya kami tetap berkomitmen untuk membantu pasien terhadap akses obat-obatan dalam penanganan gagal jantung," ujar dia.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement