Jumat 27 May 2022 16:36 WIB

Dukung Rencana Audit Perusahaan Sawit, Petani: Jangan Hanya Wacana

Audit perusahaan sawit dinilai perlu untuk benahi tata kelola indutri sawit

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nashih Nashrullah
Pembukaan lahan baru dan perkebunan kelapa sawit di kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil Desa Lhok Raya, Kecamatan Trumon Tengah, Aceh Selatan, Aceh (ilustrasi). Audit perusahaan sawit dinilai perlu untuk benahi tata kelola indutri sawit
Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Pembukaan lahan baru dan perkebunan kelapa sawit di kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil Desa Lhok Raya, Kecamatan Trumon Tengah, Aceh Selatan, Aceh (ilustrasi). Audit perusahaan sawit dinilai perlu untuk benahi tata kelola indutri sawit

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendukung rencana Menteri Koodinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang akan melakukan audit terhadap perusahaan sawit di Indonesia. 

Audit amat dibutuhkan untuk membenahi carut-marut tata kelola industri sawit nasional. Namun SPKS meminta agar rencana itu tak sekadar wacana. 

Baca Juga

Sekretaris Jenderal SPKS, Mansuetus Darto, mengatakan langkah audit tersebut sangat diperlukan dan diharapkan menjangkau seluruh permasalahan yang ada. Audit juga menjadi bentuk keseriusan pemerintah untuk memperbaiki industri sawit dari hulu ke hilir. 

Namun, SPKS memiliki sejumlah saran agar audit yang dilakukan memberikan hasil optimal. Darto mengatakan, pembenahan tata kelola industri sawit agar tidak berhenti pada persoalan legalitas seperti perizinan, hak guna usaha (HGU) lahan dan kerja sama petani plasma. 

Industri sawit nasional juga menjadi perhatian dunia internasional terhadap keberlanjutan terutama pada aspek lingkungan yang menyangkut masalah deforestasi dan kebakaran lahan dan hutan. 

"Ini yang masih absen dilakukan. Pembenahan system perkebunan kelapa sawit harus datang dari komitmen pemerintah sendiri," ujarnya dalam keterangan tertulis kepada Republika.co.id, Jumat (27/5/2022). 

Dia mencontohkan, misalnya soal data perkebunan sawit rakyat yang masih bermasalah. Data Kementerian Pertanian 2019 mencatat, luas perkebunan sawit rakyat di bawah 25 hektare ada sebanyak 6,7 juta ha.

Namun, sebagai pembanding, pada 2022, Lembaga Auriga telah merilis data untuk petani sawit rakyat hanya 2,3 juta ha. 

"Artinya ini kan masih banyak yang memiliki lahan diatas 25 hektare kemudian mengatasnamakan sebagai petani sawit, ini tentunya butuh evaluasi juga agar pemilik lahan diatas 25 hektar wajib IUP dan memiliki HGU," kata Darto. 

Darto menambahkan, rencana pemerintah untuk melakukan audit sejatinya bukan yang pertama kali. Sebelumnya, pemeirntah telah menerapkan moratorium pembukaan lahan kebun sawit selama tiga tahun. 

Itu bertujuan untuk menunda pemberian izin usaha perkebunan sawit sekaligus langkah evaluasi dan penegakan hukum. Lalu upaya penguatan data sawit seperti luas HGU, luas izin sawit hingga pembangunan kebun minimal 20 persen untuk masyarakat.

Moratorium juga dilakukan untuk pendataan dan pemetaan kebun sawit sekaligus pengurusan legalitas lahan dan usaha. 

"Tetapi persoalannya selama ini belum ada tindakan nyata di lapangan serta penegakan hukum yang tegas. Ini karena permasalahan industri sawit selama ini belum menjadi prioritas sebelum permasalahan kelangkaan minyak goreng," kata dia. 

Selain itu, pelaksanaan evaluasi izin, HGU dan realisasi 20 persen kebun masyarakat pun belum terlihat hasilnya. Dia pun menilai, seharusnya yang dilakukan saat ini adalah pengawasan dan penegakan hukum.

Evaluasi sudah dilakukan dalam kebijakan sebelumnya, artinya pemerintah sudah memiliki data yang jelas dan lengkap terkait masalah izin, HGU, dan kebun seluas minimal 20 persen untuk masyarakat 

"Jangan sampai langkah untuk audit kembali hanya akan jadi wacana saja tanpa ada penegakan hukum yang tegas, hanya mengulang kembali langkah yang sudah ada sebelumnya," ujarnya.      

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement