Senin 23 May 2022 18:10 WIB

Pemerintah Jepang Minta Universitas Awasi Mahasiswa Asing

Jepang meminta universitas meningkatkan pengawasan terhadap mahasiswa asing

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Kuliah Online (ilustrasi)
Kuliah Online (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang meminta universitas meningkatkan pengawasan terhadap mahasiswa dan cendekiawan asing, untuk menjaga keamanan nasional. Pengawasan juga bertujuan untuk menjaga pertukaran dengan universitas Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

Sebagian besar negara Barat memiliki langkah-langkah untuk mencegah spionase di kampus mereka dengan penyaringan ketat dan hukuman untuk pelanggaran. Para ahli mengatakan, Jepang telah menjadi mata rantai yang lemah karena sering tidak mengawasi mahasiswa asing. Para pejabat mengatakan, serangkaian penangkapan akademisi China oleh AS dalam beberapa tahun terakhir karena kecurigaan mata-mata adalah peringatan bagi Jepang.

"Di seluruh dunia, kontrol ekspor semakin ketat di negara-negara asing seperti China," kata seorang pejabat Kementerian Perdagangan Jepang yang membantu perguruan tinggi mengembangkan cara untuk memantau transfer teknologi dan siswa yang berisiko tinggi.

"Kami ingin universitas-universitas Jepang dipercaya untuk keamanan dan kontrol perdagangan, sehingga penelitian bersama dengan Amerika Serikat atau Eropa dapat berlanjut," kata pejabat yang menolak disebutkan namanya karena dia tidak berwenang berbicara kepada media.  

Takahiko Sasaki, yang mengawasi kontrol ekspor di Universitas Tohoku, mengatakan, perguruan tinggi akan meminta janji tertulis dari staf untuk tidak mengajarkan teknologi sensitif kepada mahasiswa atau anggota fakultas lain yang memiliki hubungan dengan entitas pemerintah asing tanpa izin. Ini akan menjadi tambahan dari kebijakan sebelumnya. Peraturan baru akan meminta fakultas dan mahasiswa asing untuk menyerahkan janji tertulis untuk mematuhi peraturan kontrol ekspor Jepang.

"Kami bukan operator intelijen. Memeriksa resume dan catatan akademik itu seharusnya menjadi tugas kami sebagai universitas," ujar Sasaki.

Otoritas imigrasi diketahui telah meloloskan transfer teknologi sensitif di masa lalu. Badan intelijen Jepang mengetahui bahwa sembilan peneliti China telah kembali ke negara mereka untuk bekerja di sektor pertahanan, setelah mempelajari teknologi untuk rudal hipersonik di lembaga-lembaga Jepang selama bertahun-tahun.

"Universitas membutuhkan uang sehingga mereka terus mendatangkan mahasiswa internasional, tetapi beberapa mengalami krisis," kata Masahiko Hosokawa, mantan pejabat kementerian perdagangan yang bertanggung jawab atas kontrol ekspor.

"Mereka harus menemukan cara untuk beroperasi tanpa warga negara China," ujar Hosokawa menambahkan.

Saat terjadi gangguan rantai pasokan, maka pencurian kekayaan intelektual,  serangan siber, keamanan ekonomi telah menjadi prioritas utama bagi pembuat kebijakan secara global. Para pejabat tidak menunjuk pada insiden spesifik di Jepang. Tetapi mengatakan bahwa, Jepang membutuhkan perbaikan di area tersebut, paling tidak agar perguruan tinggi dapat mempertahankan hubungan dengan AS dan mitra Barat lainnya.  

Dorongan untuk meningkatkan pemantauan di dunia akademis adalah bagian dari perluasan kontrol ekspor, seiring dengan RUU keamanan ekonomi baru yang disahkan bulan ini.  Di bawah pedoman baru yang efektif bulan ini, universitas diminta untuk melakukan pemeriksaan latar belakang dan menandai orang-orang yang berkepentingan, seperti mereka yang memiliki hubungan dengan pemerintah asing atau lembaga terkait pertahanan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement