Senin 23 May 2022 11:39 WIB

Kegugupan Mahasiswa Berkomunikasi Tatap Muka Pascapandemi Covid-19

Kemampuan untuk berkomunikasi langsung menjadi tidak terlatih kuliah online.

Perkuliahan tatap muka pascapandemi. (Foto ilustrasi)
Foto: dok. Humas UNS
Perkuliahan tatap muka pascapandemi. (Foto ilustrasi)

Oleh : Ratna Puspita, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan pelonggaran protokol kesehatan (prokes) dengan tidak lagi mewajibkan penggunaan masker di ruangan terbuka. Pelonggaran ini pun terasa di ruang publik terbuka. Meski ada yang mengenakan masker, sudah banyak orang terlihat tidak mengenakan masker.

Pelonggaran prokes ini juga makin menegaskan langkah Indonesia yang sedang dalam transisi menuju endemi Covid-19. Instansi pendidikan seperti sekolah melakukan pembelajaran tatap muka penuh. Perguruan tinggi pun mulai bersiap mengakhiri semester genap 2021/2022 dengan kuliah tatap muka penuh.

Secara khusus di perguruan tinggi, saya berbincang dengan mahasiswa beberapa hari lalu. Sebut saja dia Mahasiswa A. Mahasiswa A membagikan observasinya terkait interaksi tatap muka mahasiswa adik tingkatnya dan dosen dalam bimbingan skripsi.

Ia melihat ada ketegangan yang tidak biasa dalam interaksi tatap muka itu. Hal yang menurut dia berbeda adalah mahasiswa itu tampak gugup ditandai dengan dua hal, yakni mahasiswa akan bertanya ke banyak mahasiswa kakak tingkatnya soal berkomunikasi dengan dosen dan mahasiswa menunjukkan gerak tubuh yang kaku ketika berkomunikasi dengan dosen.

 

Dalam interaksi tatap muka itu, seolah, mahasiswa tidak berani 'bercanda' dengan dosen. Tentu saja, bercanda ini bukan dalam konteks tidak hormat, melainkan berbincang dengan gaya yang lebih santai.

Dalam diskusi, saya dan Mahasiswa A membahas soal komunikasi selama pandemi Covid-19. Mahasiswa yang berasal dari angkatan 2017 mengalami periode lebih panjang berinteraksi tatap muka dengan dosen. Sebaliknya, mahasiswa adik tingkatnya memiliki periode interaksi tatap muka dan daring dalam durasi yang nyaris sama.

Sebagai ilustrasi, mahasiswa dan dosen berkomunikasi melalui WhatsApp, Slack, Google Classroom, Zoom, atau Google Meet. Dalam perkuliahan melalui Zoom atau Google Meet, mahasiswa hanya melihat dosen setengah badan dan dalam posisi duduk (kaku).

Selain itu, mahasiswa kadang diizinkan tidak menyalakan kamera untuk menghemat kuota. Ini berlaku juga ketika mahasiswa sedang presentasi. Alhasil, mahasiswa tidak melakukan presentasi tatap muka langsung dengan dosen. Kemampuan untuk berkomunikasi langsung menjadi tidak terlatih selama perkuliahan.

Sementara itu, dalam komunikasi melalui WhatsApp, Slack, Google Classroom, mahasiswa dan dosen hanya berinteraksi melalui kata-kata. Kata-kata yang disusun harus baku atau sesuai KBBI dan tidak ada ruang untuk melontarkan candaan. Karena kakunya komunikasi dengan dosen, ada template untuk membuat pesan ke dosen.

Template pesan ini menunjukkan kekakuan komunikasi antara mahasiswa dan dosen di media digital sebenarnya memunculkan kekhawatiran ketika berkomunikasi dengan dosen. Kekhawatiran itu mulai dari mengucapkan kata yang salah, dan tidak sopan.

Template pesan dianggap akan menyelesaikan kekhawatiran tersebut. Hal lain yang dianggap bakal menyelesaikan kekhawatiran mengucapkan kata tidak sopan adalah emosi tangan bertangkup (๐Ÿ™). Seolah, jika mahasiswa sudah memberikan emoji ๐Ÿ™ di bagian akhir maka sudah menunjukkan kesopanan yang dapat diterima oleh dosen.

Di sisi lain, komunikasi mahasiswa dan dosen selama pandemi Covid-19 tidak menghilangkan ketegangan dalam interaksi mahasiswa dan dosen. Bahkan, ketegangan tersebut bertambah. Alhasil, ketika mahasiswa harus berkomunikasi tatap muka dengan dosen, ia menjadi tidak siap, gugup, khawatir, dan overthinking.

Untuk menghilangkan itu semua, mahasiswa berusaha bertanya ke kakak tingkatnya soal hal-hal berkaitan dengan komunikasi langsung ke dosen. Sayangnya, kadang, jawaban dari kakak tingkat tidak menyelesaikan ketegangan dan justru makin menambah ketegangan.

Pada diskusi lain dengan mahasiswa kedua, sebut saja dia Mahasiswa B, komunikasi melalui media digital yang berfokus pada diri membuat kadang mahasiswa melihat sesuatu dengan kacamata kuda. Dalam berkomunikasi, mahasiswa hanya berfokus pada bagaimana saya menyampaikan pesan yang diterima orang lain (baca: dosen).

Kemudian, mahasiswa akan berusaha mencerna kata-kata tertulis dari dosen yang bisa saja memunculkan multiinterpretasi. Kemampuan mahasiswa mencerna pesan lisan atau kemampuan mendengarkan menjadi tidak terlatih. Alhasil, berkomunikasi tatap muka langsung mahasiswa dan dosen menjadi tidak mudah dilakukan, baik bagi mahasiswa maupun bagi dosen.

Karena itu, hal yang dapat diantisipasi dosen dalam komunikasi tatap muka langsung dengan mahasiswa adalah mahasiswa bisa jadi mengalami kegugupan luar biasa hanya untuk bertemu, dan tidak mampu mendengarkan dengan baik karena lebih banyak berfokus pada dirinya. Bagi mahasiswa, komunikasi tatap muka tidak selamanya menyeramkan. Selain itu, kesempatan berkomunikasi tatap muka langsung dengan dosen dapat menjadi sarana untuk melatih kemampuan berkomunikasi dengan orang lain mulai dari kemampuan menyampaikan ide, kemampuan mendengarkan, kemampuan mencerna penjelasan dengan cepat, dan kemampuan mencairkan suasana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement