Jumat 20 May 2022 09:16 WIB

Sanggupkah Koalisi PAN-Golkar-PKB Menjadi Poros Tengah Polarisasi Dua Capres?

Masyarakat sudah muak dengan pertengkaran Kadrun dan Cebong.

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kanan), Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa (kiri) dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, bertemu dan sepakat membangun koalisi gagasan.
Foto: istimewa/doc humas
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kanan), Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa (kiri) dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, bertemu dan sepakat membangun koalisi gagasan.

Oleh : Agus Rahardjo, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Pertemuan dan gagasan yang dihasilkan dari pertemuan tiga ketua partai politik beberapa waktu lalu menuai banyak pujian dari sejumlah kalangan. Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memulai pembicaraan soal kerja sama, jauh sebelum tahapan Pemilu 2024 dimulai. Ini jadi langkah yang patut diapresiasi, meskipun, akhir dari pertemuan ini belum tentu semanis apa yang diperlihatkan tiga ketua umum.

Baik Golkar, PAN, PPP, telah bersepakat untuk menjadi poros tengah dari polarisasi yang terjadi sejak dua calon presiden bertarung di Pilpres 2014. Poros tengah sebenarnya bukan kali ini jadi pilihan parpol. Sebelumnya, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah membawa partai berlambang bintang mercy pada posisi tengah. Ia tak berada di lingkaran koalisi pemerintahan atau barisan oposisi yang saat itu digawangi Gerindra dan PKS.

Meskipun, sejatinya, Demokrat lebih banyak memposisikan diri sebagai oposisi dalam sejumlah momen penting kebijakan pemerintah. Ia memang tak bersama PKS, yang akhirnya ditinggal Gerindra untuk bergabung dengan pemerintah, namun, Demokrat berada di poros berbeda di luar lingkaran koalisi pemerintah maupun PKS.

Kini, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PAN Zulkifli Hasan, dan Ketum PPP Suharso Monoarfa, mencoba mengambil poros tengah melalui gagasan untuk meredam polarisasi di masyarakat. Ketiganya merupakan partai yang saat ini tergabung dalam lingkaran kekuasaan Presiden Joko Widodo. Artinya, jika Demokrat memposisikan diri sebagai poros tengah yang cenderung oposisi, penulis memperkirakan KIB jadi poros tengah beraroma pemegang kekuasaan.

Menariknya, gagasan meredam polarisasi ini sudah diwacanakan PAN jauh sebelum pertemuan ketiga ketum parpol. Saat itu, PAN masih belum bergabung dengan pemerintah. Dengan alasan inilah, PAN akhirnya menyatakan bergabung bersama parpol lain pendukung pemerintahan Presiden Jokowi. Meminjam istilah yang didengungkan buzzer, PAN masuk dalam lingkaran Cebong setelah sebelumnya bisa disebut masuk dalam barisan Kadrun.

Keputusan PAN membuahkan pil pahit. Sejumlah kader justru ‘bedol desa’ dan membentuk partai baru karena PAN di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan menyatakan bergabung bersama koalisi pemerintah. Bahkan, dalam sejumlah survei, PAN diprediksi tak lolos ambang batas parlemen senayan.

Konflik di internal PAN juga dialami PPP sebelum menyatakan bergabung dengan koalisi pendukung Jokowi. Dualisme partai Ka’bah berlangsung lama, meskipun tak melahirkan parpol baru. Apa jadinya jika PPP yang hampir tak lolos ambang batas parlemen ini sebagian kadernya keluar dan membuat partai baru?

Tiket capres Airlangga

Dari ketiga parpol KIB, Golkar menjadi yang paling stabil menghadapi badai internal. Airlangga berhasil menyatukan dua kubu partai berlambang beringin di bawah kepemimpinannya. Golkar juga memiliki persentase suara paling besar dari seluruh anggota KIB. Hal ini yang membuat Golkar bisa tersenyum karena rencana mereka mengusung Airlangga sebagai calon presiden ibarat melewati ‘jalan tol’.

Jika ditotal, KIB dengan tiga parpol yang ada saat ini, sudah mampu mengusung capres dan cawapresnya sendiri. KIB sudah memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Golkar meraih 12,31 persen suara pada Pemilu 2019 lalu, PAN 6,84 persen, dan PPP dengan 4,52 persen suara.

Lalu, KIB cukup hanya dengan tiga parpol ini? Untuk memenuhi syarat presidential threshold, cukup. Namun, untuk mewujudkan gagasan meredam polarisasi, belum. Keberadaan KIB akan sia-sia jika pada posisi lain, PDIP yang mampu mengusung capres-cawapresnya seorang diri harus berhadapan kembali dengan misalnya, Gerindra (12,57 persen) dan PKS (8,21 persen), atau PKS, Demokrat (7,77 persen), dan Nasdem (9,05 persen), lalu ada Gerindra dengan PKB (9,69 persen).

Masih ada banyak kemungkinan dan kejutan yang bisa terjadi hingga jelang pendaftaran capres-cawapres berakhir. Yang pasti, seluruh masyarakat juga berharap apa yang dicita-citakan KIB untuk meredam polarisasi bisa terwujud. Rakyat Indonesia sudah jenuh melihat pertengkaran Kadrun dan Cebong.

Namun, upaya ini jangan ternodai dengan permintaan ‘taqlid buta’ pada penguasa. Parpol sejatinya harus menjalankan fungsinya sesuai proporsinya. Tidak harus Demokrat atau PKS, KIB juga wajib mengingatkan jika pemerintah keluar jalur pada cita-cita seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Semoga saja, semua paham dengan posisinya masing-masing.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement