Jumat 20 May 2022 01:06 WIB

PBB: Sanksi AS Berdampak Negatif bagi Rakyat Iran

Sanksi ekonomi yang keras berdampak merusak pada hak asasi manusia di Iran

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Gita Amanda
Seorang pria tua membawa belanjaannya di depan sebuah toko kelontong di Teheran, Iran, (ilustrasi). Sanksi ekonomi AS terhadap Iran dinilai berdampak buruk pada hak asasi manusia di negara itu.
Foto: AP Photo/Vahid Salemi
Seorang pria tua membawa belanjaannya di depan sebuah toko kelontong di Teheran, Iran, (ilustrasi). Sanksi ekonomi AS terhadap Iran dinilai berdampak buruk pada hak asasi manusia di negara itu.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pelapor Khusus PBB tentang Dampak Negatif Tindakan Paksaan Sepihak Terhadap Penikmatan Hak Asasi Manusia, Alena Douhan, mengatakan sanksi AS dan kebijakannya telah meninggalkan dampak negatif pada rakyat Iran. Sehingga menurutnya itu harus dihentikan.

Douhan mengecam Washington karena sanksi brutal terhadap Iran. Dia menuturkan, sanksi ekonomi yang keras telah berdampak merusak pada hak asasi manusia di negara itu. Sanksi selama beberapa dekade telah sepenuhnya memengaruhi kehidupan rakyat Iran dan secara khusus menghantam bagian masyarakat berpenghasilan rendah.

Baca Juga

Saat mempresentasikan penilaiannya tentang tindakan paksaan sepihak (UCM) terhadap Iran, pejabat PBB yang bekerja di bawah mandat dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB meminta Washington untuk meninggalkan kebijakan keras tekanan maksimum terhadap Iran dan negara-negara lain.

Douhan, yang tiba di Teheran awal bulan ini, mengatakan dia telah bertemu dengan banyak anggota masyarakat sipil, perwakilan dari pusat keuangan, komunitas diplomatik selama kunjungannya. Pejabat PBB itu akan membahas kekhawatirannya tentang legalitas sanksi AS dalam laporan terakhirnya, yang akan dirilis di kemudian hari.

Misi Douhan dari 7 hingga 18 Mei adalah yang pertama ke Iran oleh seorang pelapor khusus PBB. Dia berharap untuk mengumpulkan informasi langsung tentang dampak tindakan pemaksaan sepihak pada realisasi penuh semua hak asasi manusia di Iran.

"Kunjungan saya bertujuan untuk mencakup semua lapisan masyarakat dan sektor yang terpengaruh oleh tindakan tersebut," katanya, menepis spekulasi di media Barat bahwa dia menuju ke Iran dengan agenda tertentu, seperti dilansir Fars News, Kamis (19/5/2022).

Douhan menyampaikan, AS sejak tahun 1970-an memberlakukan sanksi ekonomi dan perdagangan yang melumpuhkan terhadap Iran dan secara signifikan memperluasnya sejak awal 2000-an. "Saya menyerukan kepada negara-negara yang memberikan sanksi, khususnya AS, untuk meninggalkan sanksi sepihak," katanya.

Douhan juga merujuk pada negosiasi yang terhenti di Wina untuk membawa AS kembali ke JCPOA, mendesak penandatangan JCPOA dan AS untuk melanjutkan negosiasi. Dia pun engecam keputusan AS meninggalkan kesepakatan nuklir dan melanjutkan rezim sanksinya. "Menerapkan sanksi ekstrateritorial pada perusahaan Iran atau perusahaan yang bekerja dengan Iran adalah ilegal menurut hukum internasional," tegasnya.

Dia juga menyinggung aset beku Iran di luar negeri, dan mengatakan aset yang diperkirakan sekitar 120 miliar dolar itu perlu dibuka blokirnya. "Saya mendesak negara-negara yang telah membekukan aset Bank Sentral Iran untuk segera mencairkan dana Iran berdasarkan hukum internasional," katanya.

Pada Mei 2018, mantan Presiden AS Donald Trump, setelah secara sepihak menarik negaranya dari kesepakatan nuklir 2015, dan memberlakukan kembali sanksi ekonomi yang keras terhadap Iran serta menjatuhkan sanksi baru dalam langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya yang dikecam secara luas.

Di bawah perjanjian 2015, yang secara resmi dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA), sanksi internasional terhadap Republik Islam dilonggarkan dengan imbalan Teheran membatasi aspek-aspek tertentu dari kegiatan nuklirnya. Sanksi Trump membuat Iran kehilangan dividen ekonomi di bawah perjanjian itu karena melarang negara-negara dan perusahaan internasional untuk bekerja dengan Iran.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement