Rabu 18 May 2022 02:25 WIB

China tidak akan Longgarkan Protokol Kesehatan Meski Dikritik

WHO mengkritik kebijakan nol Covid-19 China.

Suasana di dalam bus kota yang sepi penumpang akibat kebijakan bekerja dari rumah untuk menghindari makin meluasnya wabah COVID-19 varian Omicron di Beijing, China, Jumat (13/5/2022). Sejak gelombang terakhir Omicron di Beijiing pada 22 April hingga 11 Mei 2022, terdapat 928 kasus positif. China tidak akan Longgarkan Protokol Kesehatan Meski Dikritik
Foto: ANTARA/M. Irfan Ilmie
Suasana di dalam bus kota yang sepi penumpang akibat kebijakan bekerja dari rumah untuk menghindari makin meluasnya wabah COVID-19 varian Omicron di Beijing, China, Jumat (13/5/2022). Sejak gelombang terakhir Omicron di Beijiing pada 22 April hingga 11 Mei 2022, terdapat 928 kasus positif. China tidak akan Longgarkan Protokol Kesehatan Meski Dikritik

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Otoritas China tidak akan melonggarkan protokol kesehatan ketat antipandemi Covid-19 meskipun mendapatkan kritikan dari berbagai pihak, termasuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

China akan mengambil tindakan yang lebih tegas dan lebih cepat untuk menyaring dan mengisolasi kelompok berisiko Covid-19 dan menerapkan kewajiban tes PCR secara reguler dalam menghadapi varian Omicron.

Baca Juga

Menteri Kesehatan Nasional China, Ma Xiaowei, seperti dikutip media setempat, Selasa (17/5/2022), menyampaikan akan mempercepat riset vaksin khusus Omicron dan memperluas jangkauan vaksinasi penguat pada kalangan orang tua berusia lanjut. Ia juga menegaskan kembali komitmen kementeriannya terkait kebijakan nol kasus Covid-19 setelah gelombang kasus terparah menerjang Kota Shanghai dan Provinsi Jilin.

Ma mengingatkan kepatuhan terhadap pengendalian virus secara ketat sudah menjadi keharusan dan sesuai dengan tujuan Partai Komunis China (CPC), partai berkuasa di negara berpenduduk 1,4 miliar jiwa itu. "Partai mengutamakan kepentingan rakyat dan keselamatan serta kesehatan rakyat kami adalah prioritas. Ini yang menjadi alasan mendasar keputusan kami melalui pendekatan berbeda dalam menangani virus dibandingkan dengan beberapa negara Barat," kata Ma dikutip China Daily.

Sebelumnya, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengkritik kebijakan nol Covid-19 China yang sering kali dibarengi dengan penerapan penguncian wilayah (lockdown) karena berpotensi melanggar hak asasi manusia. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) Zhao Lijian langsung menanggapi kritik tersebut.

Ia mengatakan 1,5 juta nyawa warga China bisa saja melayang sia-sia jika prokes ketat tidak diterapkan. Kasus kematian di China sampai saat ini masih di kisaran angka 4.000-an sejak pandemi mulai berlangsung pada awal 2020.

Sementara itu, sejak 22 April sampai saat ini Beijing masih menerapkan lockdown secara parsial, bahkan wilayahnya diperluas. Sejak saat itu pula sampai saat ini sudah 10 putaran tes PCR digelar secara massal di 12 distrik di wilayah Ibu Kota.

Satu putaran biasanya diisi dengan tiga kali tes. Hingga Senin (16/5/2022), di Beijing terdapat 1.113 kasus baru.

Tes PCR massal juga digelar di satu kota kecil di Provinsi Sichuan, yang berbatasan dengan Kota Chongqing. Otoritas setempat menggelar tes massal terhadap 495 ribu warga setelah dalam sepekan ditemukan 500 kasus positif.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement