Senin 16 May 2022 23:22 WIB

Pengamat: Pertumbuhan Ekonomi 2022 Kemungkinan di Atas 5 Persen

Pengamat IEI menilai pertumbuhan ekonomi tahun ini lebih baik dari 2021

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Sejumlah kendaraan melintas dengan latar gedung bertingkat di Jakarta. Kondisi ekonomi yang menantang masih menyisakan harapan untuk pertumbuhan pada 2022. Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip mengatakan, prospek ekonomi tahun ini diperkirakan lebih baik dibandingkan tahun lalu.
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Sejumlah kendaraan melintas dengan latar gedung bertingkat di Jakarta. Kondisi ekonomi yang menantang masih menyisakan harapan untuk pertumbuhan pada 2022. Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip mengatakan, prospek ekonomi tahun ini diperkirakan lebih baik dibandingkan tahun lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kondisi ekonomi yang menantang masih menyisakan harapan untuk pertumbuhan pada 2022. Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip mengatakan, prospek ekonomi tahun ini diperkirakan lebih baik dibandingkan tahun lalu.  

"Setidaknya, indikasi kearah tersebut terlihat dari kinerja pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2022 yang tumbuh 5,01 persen (yoy) yang menurut saya merupakan level yang cukup tinggi," katanya pada Republika, beberapa waktu lalu.

Capaian tersebut terbilang cukup tinggi karena di awal-awal tahun 2022 masih terdapat kebijakan pembatasan aktivitas meskipun tidak terlalu ketat. Diperkirakan, seiring dengan meredanya dampak penyebaran Covid-19, kebijakan pembatasan aktivitas akan semakin berkurang.

Sunarsip menambahkan, sejumlah kalangan bahkan memprediksikan tahun ini Indonesia sudah memasuki tahapan endemi. Seiring dengan tahapan ini, tentunya aktivitas ekonomi juga akan bergerak lebih aktif sehingga pertumbuhan ekonomi dapat didorong lebih tinggi.

"Tahun ini, perkiraan pertumbuhan ekonomi di atas lima persen kemungkinan akan dapat dicapai," katanya.

Namun demikian, tahun ini Indonesia juga menghadapi tantangan yang terkait dengan inflasi. Sunarsip mengatakan, seiring dengan membaiknya pertumbuhan dan permintaan, biasanya inflasi memang akan ikut bergerak naik.

Terlebih, akibat terhentinya kegiatan produksi selama dua tahun terakhir akibat pandemi, produsen-produsen belum sepenuh siap melakukan pemulihan di sektor produksinya. Selama dua tahun terakhir tersebut, praktis hanya sektor sektor pertanian yang tidak mengalami gangguan di sisi produksinya.

Gangguan mata rantai pasokan atau yang lebih dikenal dengan istilah supply chain disruption inilah yang diprediksi akan menjadi salah satu sumber utama terjadinya lonjakan harga-harga atau inflasi. Tanda-tanda bahwa gangguan pasokan tersebut berdampak pada kenaikan inflasi sudah terlihat.

Dalam dua bulan terakhir, Maret dan April, inflasi bulanannya sudah sangat tinggi. Inflasi Maret sebesar 0,66 persen dan inflasi April naik lagi sebesar 0,95 persen. Tingginya inflasi tersebut menyebabkan inflasi tahunan juga tinggi yaitu mencapai 3,47 persen (yoy) pada April 2022.

"Ini berarti sudah di atas ambang batas yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) sebesar tiga persen," katanya.

Tantangan inflasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh negara di dunia juga mengalami tantangan yang serupa. Amerika Serikat (AS), misalnya, inflasinya juga sangat tinggi, mencapai 8,3 persen (yoy) pada April lalu.

Seiring dengan kenaikan inflasinya tersebut, bank sentral AS The Fed juga telah menaikan suku bunga acuannya. Bahkan, The Fed diperkirakan akan menaikan suku bunga acuannya sebanyak 3-4 kali selama 2022 ini. 

Aksi The Fed tersebut diperkirakan akan memicu kebijakan yang serupa oleh bank-bank sentral di negara lain, termasuk Bank Indonesia. Sunarsip mengatakan, BI memang memiliki tugas untuk menjaga inflasi pada level yang acceptable.

Tidak hanya inflasi, BI juga memiliki tugas menjaga kestabilan nilai tukar pada level yang terjangkau. Inflasi yang tinggi tentunya akan merugikan, baik bagi perekonomian dan terutama bagi kesejahteraan masyarakat khususnya kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan tetap dan rendah.

Kepentingan mereka harus dilindungi dari dampak inflasi tersebut. Nilai tukar yang terlalu berfluktuasi dan cenderung melemah juga tidak baik, terutama untuk kegiatan impor, investasi dan pembayaran ke luar negeri.

Nilai tukar yang terlalu lemah akan mengganggu aktivitas produksi. Sementara bahan baku dan barang modal untuk kegiatan produksi dan investasi di dalam negeri masih banyak yang mengandalkan impor.

"Nah, di sinilah kebijakan moneter melalui penetapan suku bunga acuan, BI-7 Days Repo, menjadi penting untuk diperankan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement