Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Pramudya A.Rosadi

Percakapan Imajiner dengan Sigmund Freud (sebuah cerpen ilmiah)

Sastra | Monday, 16 May 2022, 11:08 WIB
photo : unsplash.com

“Mimpi adalah jawaban hari ini atas pertanyaan-pertanyaan esok" - Edgar Cayce

Malam itu. tepatnya, sudah memasuki dini hari. Aku memasuki fase tidur yang dalam. Deep Sleep. Kurasakan, aku bertemu dengan sahabat lamaku. Dia nampak sehat dan ceria, dengan tubuh kurusnya persis semasa di SMA dulu. Ya betul, selalu terulang akhir-akhir ini. Aku bermimpi bertemu sahabatku Hasan dalam kondisi kami yang masih muda belia, 30 tahun lalu. Rupanya bentuk mimpi itu seperti pita kaset, CD, flashdisk, atau apa lah istilahnya sekarang, selalu bisa membawa memori masa lalu untuk ditayangkan kembali. Lengkap dan detail. Dengan setting masa itu, orang-orangnya, atmosfernya, percakapannya. Aku pernah berpikir, mimpi masa lalu berkaitan erat dengan keadaan masa kini, atau malah masa depan. Sebuah pertanda? sebuah peringatan? sebuah petunjuk?.

Mimpiku itu terasa begitu nyata. Begitu hidup. Aku seolah-olah menjadi pemeran utamanya, apabila mimpi dikatakan sebagai sebuah film. Kami saling sapa dan mengobrol di sekolah, disertai kawan-kawan yang lalu lalang di lorong sekolah. Apa maksudmu selalu menemuiku, sahabat? Apakah ada sesuatu yang ingin kau sampaikan? Atau ada keinginanmu semasih hidup yang belum tercapai? Ya, kau sudah di alam lain, di alam barzah. Kau sudah pergi meninggalkan dunia ini 3 tahun yang lalu. Tapi kenapa aku yang selalu kau temui? Apakah teman-teman yang lain juga bermimpi demikian?

Aku membuka dan membolak balik halaman-halaman buku karya Sigmund Freud yang judulnya “The Interpretations of Dreams” atau Tafsir Mimpi, judul edisi alih bahasa Indonesia nya. Mencoba mencari tahu kaitan mimpi dengan dunia nyata. Di halaman awal ada penjelasan bahwa menurut teori ilmiah, bermimpi bukanlah kegiatan fisik , tapi lebih merupakan aktivitas psikis, yaitu proses pengenalan melalui simbol-simbol. Nampaknya teori tersebut dapat diterima, meski sebagian orang ada juga yang bermimpi sambil berteriak teriak, menggelepar, bahkan terkadang berjalan dalam tidurnya, pada sebagian kasus. ada pula pendapat yang mengatakan, mimpi dapat menggambarkan kejadian-kejadian dimasa depan atau nubuat. Sebagai contoh, Saya bermimpi tentang sepucuk surat dan saya menemukan arti bahwa surat itu diterjemahkan sebagai sebuah gangguan, pemakaman atau sebagai keterlibatan. Aku berusaha untuk mengaitkan arti mimpi tersebut dengan masa depan. Aku pernah membaca, bahwa semua kepercayaan kuno dan agama-agama yang ada saat ini mempunyai pembahasan sendiri terkait mimpi.

Apaka saat ini aku sedang bermimpi atau masih sadar? Kurang jelas

Dan, tiba tiba, aku terhenyak menatap sesosok tubuh pria, mendekat padaku dari balik kabut di sebuah jalan setapak yang sisinya rimbun akan pepohonan dan belukar. Tubuhnya tinggi besar. Tipikal orang Eropa. Dia memakai jas lengkap, tampaknya seperti model jas pria awal abad ke 20. Lengkap dengan dasi model lama yang sering kulihat di film-film klasik hitam putih. Dan dalam sepersekian detik, sosok pria tadi sudah berdiri persis didepanku. Usia pria ini sekitar 60an. Rambut dan jenggot panjangnya. Sudah memutih semua. Namun terlihat disisir dengan rapi. Aku mendongak, mencoba melihat wajahnya, karena tinggi badannya sekitar 180 cm lebih. Aku gemetar. Jarang-jarang aku melihat orang kulit putih di tempat terpencil seperti ini. Ada gurat-gurat di dahi, dan kulit wajahnya sudah mulai keriput.

“Hello” sapanya pendek,

“Eh, uh, hello” jawabku agak grogi.

“Do you speak English?” tanyanya lagi. Kali ini sambil tersenyum.

Aku terdiam sejenak.

“Mmm, yes, a little beat. But I But I prefer to speak Bahasa, mister, yes mister !” seruku terbata bata.

Tentu saja aku berkata demikian. Karena kemampuan bahasa Inggris ku yang pas-pasan ini.

“Baiklah kalau begitu ” ujarnya sambil tersenyum lebar.

Wah, ternyata bule satu ini bisa berbahasa Indonesia. Syukurlah hehe... gumamku dalam hati.

“Maaf, anda siapa ya? tanyaku pelan.

Diam sesaat. Dia tampak menatap sekitar. Memandangi kabut yang mulai menipis.

“Perkenalkan, nama saya Sigmund. Sigmund Freud” ucapnya dengan aksen Eropa yang kental.

Waw, tentu saja aku kenal nama itu. Kebetulan bukunya kan baru saja kubaca beberapa menit lalu.

“Ya mister. Saya kenal anda. Anda adalah Bapak Psikoanalisis dunia yang terkenal itu. Saya sedang membaca buku anda saat ini” terangku.

“Iya. terima kasih, ooom .” ia bermaksud menanyakan namaku.

“Panggil saja saya kang Arie, mister” sambar lisanku memahami maksudnya.

Berhubung saya asli orang Indonesia, bukan Belanda. Maka lebih elok kalau dipanggil mas, abang atau kang saja. Dan kalau dipanggil om kesannya saya sudah tua banget. Padahal memang tua ! hehe.

“Apa yang membawa anda ke tempat ini, mister Freud ?” tanyaku. Ini kan didalam mimpi. Atau malah, mimpi didalam mimpi? Vivid dream. Seperti yang pernah kulihat penjelasannya di sebuah channel Youtube.

“Jadi begini kang Arie Saya menjumpai anda di dalam mimpi anda ini sebagai perwujudan keingintahuan anda mengenai arti mimpi” dia mulai menjelaskan.

“Saya akan menjelaskannya dalam bahasa yang disederhanakan agar anda mudah memahaminya. Semua yang akan saya sampaikan nanti ada didalam buku saya “The Interpretations of Dreams” sambungnya.

“Wah, kalau begitu terima kasih banyak atas kehadiran mister di dalam mimpi saya ini dan bersedia menjelaskan perihal mimpi secara ilmiah” ucapku tersenyum lebar. Rasa grogi ku sudah sirna.

Mister Freud memasukkan kedua tangannya ke kantong celana. Memang cukup dingin suasana didalam mimpiku kali ini.

“Begini, mimpi adalah kejadian di bawah sadar, yang unsur-unsur isinya bersifat seperti film. Adegan-adegan film dalam tidur dikondisikan oleh relaksasi kekuatan kehendak kita” ungkapnya perlahan. Tangannya menepis sisa-sisa embun yang melekat di jas hitamnya.

Aku berusaha memahami kata-katanya.

“Orang zaman dahulu percaya, mimpi dikirim oleh para dewa untuk menuntun tindakan manusia kang” ujarnya.

“Dan itu ada benarnya, namun sebenarnya pemicu mimpi adalah rangsangan sensorik subjektif, yang disebabkan oleh halusinasi”. Dia terdiam sejenak. Tangannya merogoh kantong jasnya yang bagian bawah, sedang mencari sesuatu.. Dan seketika sudah ada sebuah benda di tangan kirinya. Oh, ternyata pipa tembakau untuk merokok. Aku tak pernah melihat lagi ada pria di milenial kedua ini yang merokok menggunakan pipa. Yang ada, biasanya menghisap rokok batangan. Tapi kan, dia datang dari masa lalu. Wajar saja.

Ia mulai meneruskan

“Halusinasi adalah kumpulan gambar yang jelas dan berubah-ubah, dan terjadi terus menerus selama periode tidur” ucapnya agak tersedak karena ada sebatang pipa di mulutnya kini. Ia menyalakan tembakau yang ada di ujung pipanya dengan korek api, dan menghisapnya dalam-dalam. Lalu dihembuskannya segumpal asap dari mulut dan hidungnya. Tampak sekali ia menikmatinya.

“Dan itu mungkin berlanjut sampai kita mulai terbangun kang”.

Aku manggut-manggut.

“Perlu diingat, bahwa hampir semua organ internal tubuh kita ini, dalam keadaan sehat selalu mengingatkan kita tentang keberadaan mereka. Mungkin dalam keadaan eksitasi, atau karena penyakit, akan menjadi sumber sensasi yang menyakitkan. Semua ini harus disamakan dengan rangsangan eksternal dari rasa sakit dan sensasi. Mimpi terjadi pada hampir semua orang, dan mencapai potensi terbesarnya pada malam hari. Teori asal usul mimpi ini lah yang digemari oleh para ilmuwan kang”

“Oh begitu ya, mister”

“Iya” sahutnya.

“Jadi, dalam keadaan tidur, ide-ide yang tidak diinginkan akan muncul menjadi gambaran visual, ini diakibatkan oleh kelelahan” sambungnya.

“Ide-ide Yang tidak diinginkan itu akhirnya berubah menjadi ide-ide yang diinginkan.” ia hembuskan lagi asap tembakaunya.

“Maksudnya bagaimana itu, mister?” tanyaku polos.

“Begini, ide yang tidak diinginkan seringkali muncul ke permukaan dalam bentuk yang kuat. Karena dianggap terisolasi, maka ide dianggap sangat tidak penting , tetapi, justru ide yang mengikutinya yang akan dianggap penting” sahut mister Freud.

“Mungkin dalam sebuah lokasi tertentu dengan ide-ide lain. Yang mungkin tampak sama mustahilnya, dan mungkin mampu menciptakan satu mata rantai yang sangat berguna. Oleh sebab itu, sebuah mimpi memerlukan waktu pengenalan yang lama kang” sambungnya merincikan.

Mister Freud terdiam. Tampaknya ia sedang mencari kalimat yang mudah untuk dimengerti oleh orang awam ilmu psikologi sepertiku ini.

“Nah, ketika interpretasi mimpi sudah beres, maka mimpi dapat diakui sebagai sebuah pemenuhan keinginan. Mimpi jatuh dari ketinggian misalnya, adalah karena adanya lengan yang jatuh dari badan saat tidur, atau lutut tertekuk yang tiba-tiba direntangkan. Sesuatu yang dialami dalam mimpi merupakan kelanjutan dari kehidupan nyata yang terbawa kedalam tidur” ungkapnya.

“Lumayan berat juga bahasan kita ini, mister” sahutku menghela nafas, sambil melihat jam di ponsel.

“Bagaimana kalau kita sarapan dulu? Mister pasti sudah lapar” tawarku.

“Bisa jadi !” jawab mister Freud sambil tersenyum lebar. Matanya berbinar. Tampak senang atas tawaranku ini.

“Yah, ini kebetulan istri saya bikin Soto Banjar buat sarapan, rasanya gurih, semoga mister cocok dengan masakan ini” ucapku basa basi . Seperti percakapan di sinetron.

“Saya memang tidak pernah sarapan makanan ini di Eropa. Biasanya setiap pagi saya sarapan roti dengan mentega atau selai, makan telur atau kornet, minum kopi dan susu. Kemudian berangkat kerja kang” ucap mister Freud.

Dia mengaduk kuah Soto Banjar yang terhidang di piring dengan sendok. Asapnya masih mengepul. Panas.

“Ini apa ya?” tanyanya penasaran, sambil menunjuk ke dalam piring.

“Oooh, itu soto nya, dari beras yang dipadatkan dalam daun kelapa lalu dipotong potong kecil, mister” aku berusaha menjelaskan.

“Kuahnya dibikin dari beberapa rempah-rempah nusantara. Terus itu ada irisan ayam kampung, telur bebek, daun sop, potongan kentang, perkedel, irisan wortel, soun dan bawang goreng” Aku melanjutkan penjelasan.

Walaupun beliau ini pakar psikoanalisis dunia, tapi beliau pasti kagok juga kalau disuruh bikin Soto Banjar hahaha. Aku tertawa dalam hati.

Mister Freud makan dengan lahap. Tumben, ada orang Eropa senang makanan Indonesia. Lain kali kalau dia hadir kembali dalam mimpiku, mau aku kasih Ketupat Kandangan saja lagi hahaha.

“Tambah lagi sotonya mister?” tanyaku.

“Tidak. Terima kasih kang” jawabnya pendek, sambil mengusap keringat di dahinya dengan sapu tangan.

“Gimana rasanya. Enak?” pancingku.

“Agak aneh sih rasanya. Mungkin karena lidah saya orang Eropa beda cita rasa dengan lidah anda kang. Tapi secara umum enak juga sih. Gurih. Betul juga kata anda tadi. Buktinya, piring saya isinya habis tak tersisa. Kecuali tulang ayam ini haha” canda mister Freud.

“Haha mister bisa aja” kami terbahak.

Kok ini malah jadi food story ketimbang cerita ilmiah ya hehe

Sabar pembaca yang budiman, kita lanjutkan penjelasan dari mister Freud

“Kang Arie, bila sebuah mimpi memudar di pagi hari, itu hanyalah sebuah pepatah. Karena sangat mungkin untuk mengingatnya kembali. Mimpi seolah mempunyai kekuatan luar biasa untuk mempertahankan dirinya di dalam memori. Namun dalam keadaan sadar, kita sering melupakan banyak sensasi dan persepsi karena semua itu terlalu sepele untuk diingat, dan karena peristiwa itu hanya memiliki sejumlah kecil perasaan emosional. Hanya sedikit orang yang memperhatikan mimpi-mimpinya, itu lah sebabnya mereka cepat melupakan mimpinya” mister Freud menyampaikan kalimat yang panjang sekaligus.

“Selama tidur, jiwa mengisolasi diri dari dunia luar. Menarik diri dari tepiannya” sambungnya sambil mengunyah permen pewangi mulut.

Aku menerawang, mencoba membayangkannya ucapannya kedalam bentuk visual.

Selanjutnya

“Kata atau kalimat yang tak berarti tidak akan membangunkan orang yang sedang tidur, tetapi bila disebut namanya, dia akan bangun kang” ungkapnya.

“Betul juga sih” pikirku.

“Mimpi membebaskan pikiran dari kekuatan alam eksternal. Mimpi tidak memperdulikan ruang dan waktu sebagaimana pikiran sadar, karena bermimpi itu sendiri merupakan sebuah bentuk pikiran” ungkapnya.

“Oh begitu ya” sahutku sambil menggaruk belakang kuping ku yang sama sekali tidak gatal.

“Mimpi-mimpi anak kecil seringkali merupakan pemenuhan keinginan sederhana, dan untuk alasan ini, dibandingkan dengan mimpi orang dewasa, tidak berarti mimpi mereka tidak menarik” jelasnya.

“Mimpi mereka hadir bukan berupa masalah yang harus diselesaikan, tetapi mimpi mereka tidak ternilai harganya, sebagai bukti bahwa mimpi tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan keinginan” sambungnya lebih memperjelas.

“Iya mister” sahutku sambil menahan kuap.

Pagi-pagi sudah mengantuk !

“Mimpi sering muncul memiliki beberapa arti : tidak hanya sebagai pemenuhan keinginan yang dikombinasikan didalamnya , namun merupakan sebuah makna atau sebuah pemenuhan keinginan yang yang dapat menyembunyikan hal-hal lainnya sampai di lapisan terendah yang datang dalam bentuk pemenuhan keinginan dari periode awal masa kanak-kanak” mister Freud memberondong serentetan kalimat yang bertubi tubi. Seolah- olah itu bedil M1 Garand yang ditembakkan tentara AS ke tubuh para tentara Jepang semasa PD 2 di Pasifik. Kepalaku langsung terasa berat.

“Mary Whiton Calkins menguji mimpinya sendiri dan juga mimpi orang lain dalam jangka waktu 6 minggu, dan menemukan bahwa unsur persepsi sensorik eksternal dibuktikan masing-masing hanya 13,2 persen dan 6,7 persen dari mimpi tersebut” cerita mister Freud sambil kembali menyalakan pipa tembakanya. Pipa cangklong kalau di Jawa sebutannya mah.

“Strumpell menegaskan bahwa pikiran, karena jauh dari dunia luar saat tidur, tidak berada dalam posisi memberikan interpretasi yang benar mengenai stimulus sensorik objektif, tetapi dipaksa untuk membangun ilusi atas dasar stimulus terbatas yang datang dari berbagai arah” ungkapnya sambil mengepulkan asap ke udara. Aroma tembakau terasa nikmat di hidung. Sementara itu, terlihat awan gelap di atas cakrawala berarak menuju utara dihembus angin tropis..

“Burdach menunjukkan bahwa pikiran yang cukup mumpuni bahkan saat tidur mampu melakukan interpretasi yang benar terhadap kesan sensorik yang dialaminya dan bereaksi sesuai dengan interpretasi yang benar ini, karena ia menunjukkan bahwa kesan sensorik tertentu yang tampaknya penting bagi individu dapat dikecualikan oleh pengabaian umum terhadap pikiran yang tidur, dan orang lebih mudah terbangun ketika dipanggil dengan namanya sendiri daripada kesan pendengaran yang tidak memiliki arti dan semua yang mengandaikan, sehingga pikiran dapat membedakan antara berbagai sensasi, bahkan dalam tidur” ia menyitir pendapat sang ahli fisiologi. Tangan kanannya menggaruk garuk dagunya yang ditumbuhi jenggot panjang beruban berwarna keperakan.

“Bolehkah saya bertanya sesuatu mister?” kataku.

“Ya, silahkan kang” sahut mister Freud.

“Bila kita bermimpi kawin lagi, apakah itu benar akan menjadi kenyataan?” tanyaku naif.

“Wah, kayaknya itu akang aja yang kebelet mau kawin lagi” jawabnya diplomatis sambil tergelak.

“Hahaha” aku ikut tertawa,

“Semua mimpi adalah mimpi kenyamanan, yang berfungsi untuk meneruskan tidur, bukannya malah terbangun. Mimpi adalah penjaga tidur, dan bukan pengganggu tidur” mister Freud meneruskan orasi ilmiahnya didalam mimpiku ini. Sambil kami duduk duduk di sebuah gubuk atau shelter sederhana menunggu durian jatuh di sebuah kebun durian yang luas dan pohonnya besar-besar.

Unik juga mimpiku ini. Masa tokoh besar dunia sekaliber Sigmund Freud sedang menunggu durian jatuh hehe.

“Mimpi-mimpi menunjukkan kita terjadinya keadaan yang sangat tidak biasa, mereka menunjukkan kepada kita bahwa pikiran mimpi dapat diciptakan oleh keinginan yang ditekan, yang sepenuhnya lolos sensor, dan dipindahkan ke alam mimpi tanpa perubahan” lanjutnya.

“Iya mister” sahutku, mengangguk, sambil menggigit kerupuk. Kress

“Kondisi khusus harus didapatkan agar hal tersebut dapat terwujud. Dua hal berikut ini mendukung munculnya mimpi tersebut : Pertama, ini adalah keinginan terakhir bahwa kita bisa mempercayakan diri kita untuk menyimpannya, kita percaya bahwa keinginan tersebut tidak akan pernah terjadi kepada kita bahkan dalam mimpi, sensor mimpi tersebut dengan demikian tidak siap untuk menjadi aneh seperti hukum Solon yang tidak melihat perlunya menetapkan hukuman karena membunuh ayah. Kedua, keinginan yang ditekan dan tidak terduga dalam kasus khusus ini sering bertemu setengah jalan oleh residu dari pengalaman hari itu, dalam bentuk beberapa kekhawatiran terhadap kehidupan orang tercinta” mister Freud menerangkan panjang lebar sambil menyeka wajahnya dengan sapu tangan putih yang diambilnya dari saku celananya.

Dan aku merasa sudah mulai terbangun. Lirih terdengar “Hungarian Rhapsody No. 2” nya Franz Liszt. Iramanya menari nari ditelingaku. Entah siapa yang menyetel musik klasik di pagi buta seperti ini. Atau, aku masih di alam mimpi?

Ternyata aku separo di alam mimpi dan separo di dunia nyata. Masih setengah tertidur.

Kemudian ada hal yang menarik disampaikan oleh mister Freud lebih lanjut

“Ketika sebuah ucapan lisan secara tegas dibedakan dari pikiran seperti yang terjadi dalam mimpi, maka yang selalu terjadi adalah bahwa bicara dalam mimpi berasal dari pidato yang diingat dibahan mimpi” tandasnya.

“Wah, ini lucu juga ya, mister” kataku sambil menahan tawa.

Kebetulan sekali kemarin istriku bilang kalau malam sebelumnya aku bicara dalam tidur. Entah bicara apa, kurang jelas katanya.

Untunglah aku tak menyebut nama seorang wanita lain dalam tidurku itu. Kan bisa berabe ! Bisa jadi salah paham istriku hahaha.

“Tidak jarang mimpi berbicara hanya berfungsi sebagai kiasan bagi sebuah insiden yang dalam hubungan tersebut kata-kata yang diingat itu yang diucapkan kang” ucapnya pelan menutup penjelasannya.

“Iya mister” kataku pendek saja.

“Bagaimana kang, apakah anda sudah memahami hal ihwal terjadinya mimpi yang sudah saya sampaikan tadi?” mister Freud bertanya sambil tersenyum ke arahku.

“Sudah mister. Memang tadi saya harus konsentrasi penuh mendengarkan uraian anda, mencoba memahami kalimat-kalimat anda, saya akui memang psikoanalisis adalah sebuah bidang yang cukup kompleks. Tapi secara umum, saya sudah mulai memahami keterkaitan mimpi dengan kejadian nyata yang akan terjadi. Terima kasih banyak” terangku.

“Baiklah kang, kalau begitu saya pamit dulu ya See you !’ demikian ucapan perpisahan dari mister Freud untukku.

“OK. Sampai jumpa mister. Hati-hati dijalan !” kataku sambil melambaikan tangan ke arahnya yang sudah berbalik badan menuju jalan setapak tempat ia muncul dari balik kabut, diawal mimpi tadi.

Kini aku sudah benar-benar terbangun. Pelan-pelan aku mencoba bangkit, mencoba duduk di tepi kasur springbed yang tak pakai ranjang ini. Seluruh badan masih terasa letih. Sebenarnya aku masih mengantuk. Perlu sedikit waktu lagi untuk berleha leha diatas tempat tidur. Tapi ini sudah masuk waktu subuh.

Aku merenungkan penjelasan mister Freud yang baru saja aku alami di dalam mimpi tadi. Mencoba mengaitkan dengan mimpi-mimpi pertemuanku dengan sahabatku yang sudah wafat, Hasan. Apapun makna mimpi itu, aku akan selalu mendoakanmu, wahai sahabat terbaik.

“Semoga Allah melapangkan kuburmu, menerangimu dengan cahaya kasih Nya, memberikan rezeki yang tak pernah putus di alam kubur dan memasukkanmu kedalam surga firdaus, surga tingkat tertinggi, Aamiin ” demikian doa yang kupanjatkan untuk almarhum Hasan di pagi yang bergerimis dan dingin itu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image