Jumat 13 May 2022 00:34 WIB

Pengendalian Perubahan Iklim Butuh Tambahan Rp 200-an Triliun per Tahun

Indonesia butuh tambahan pendanaan besar upayakan pengendalian perubahan iklim

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Rabu (10/11/2021). Aksi mengantarkan 1.000 kartu pos dari masyarakat seluruh Indonesia kepada Presiden Joko Widodo yang disertai patung es seorang anak tersebut untuk mengingatkan adanya ancaman besar perubahan iklim.
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi di kawasan Monumen Nasional, Jakarta, Rabu (10/11/2021). Aksi mengantarkan 1.000 kartu pos dari masyarakat seluruh Indonesia kepada Presiden Joko Widodo yang disertai patung es seorang anak tersebut untuk mengingatkan adanya ancaman besar perubahan iklim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Indonesia membutuhkan tambahan pendanaan sekitar Rp 200-an triliun per tahun untuk bisa memenuhi target Nationally Determined Contribution (NDC) dalam upaya pengendalian perubahan iklim. Pernyataan ini diungkapkan Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Indra Darmawan.

Menurutnya Indonesia berkomitmen untuk bisa mencapai net zero emission (netral karbon) pada tahun 2060 atau lebih awal."Namun ini perlu pendanaan. Komitmen atau target yang tinggi tersebut ternyata memang memerlukan pembiayaan yang sangat besar. Tidak kurang dari Rp 340 triliun per tahun selama 10 tahun ke depan. Itu yang kita butuhkan untuk mencapai NDC. Sementara kita baru bisa upayakan 29-30 persennya," kata Indra dalam webinar Green Economy Indonesia Summit 2022: The Future Economy of Indonesia yang dipantau di Jakarta, Kamis (12/5/2022).

Baca Juga

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, kebutuhan ideal anggaran pengendalian iklim (berdasarkan NDC Indonesia) pada 2020-2030 yaitu sebesar Rp 343,6 triliun per tahun. Sementara rata-rata anggaran perubahan iklim pada APBN baru sekitar Rp 102,56 triliun per tahun atau 29,9 persen dari kebutuhan anggaran ideal.

"Ada gap-nya Rp 200-an triliun per tahun pembiayaan yang kita perlukan untuk bisa memenuhi target-target yang kita setting (dalam NDC) itu tadi," katanya.

Indra mengatakan investasi adalah salah satu strategi yang diandalkan untuk bisa meraih pendanaan tersebut. Namun Kementerian Investasi/BKPM tidak mengukur lebih rinci investasi hijau yang masuk dan ditanamkan di Tanah Air.

"Aspek hijau tidak terkategorikan per proyek tapi kita bisa tangkap di perizinan. Kalau pelaku usaha atau bisnis usaha mencemari lingkungan, sudah pasti dicabut izinnya," terang Indra.

Data lain yang bisa dilihat untuk melihat investasi hijau adalah dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang dikeluarkan PT PLN (Persero). "Sampai 2030 nanti, tidak kurang dari setengahnya akan dibuat pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Sekitar 40,6 GW itu akan berasal dari sumber yang hijau," katanya.

Untuk bisa menarik investasi berkelanjutan, Kementerian Investasi/BKPM telah meluncurkan 47 proyek investasi berkelanjutan yang telah dilengkapi dengan prastudi kelayakan (pra feasibility study/pra FS). "Jadi ada 47 proyek dihitung sampai level pra FS, itu sudah ada warna SDGs-nya. Satu proyek akan menuju ke tujuan SDG nomor berapa. Ini akan kita teruskan ke depan agar proyek-proyek investasi harus selalu ramah lingkungan," katanya.

Indra menuturkan upaya mewujudkan target NDC tidaklah mudah. Pasalnya, komitmen itu merupakan janji di masa yang panjang di masa depan. Selain memerlukan pendanaan yang besar, biaya tersebut pun akan jadi biaya yang harus dikeluarkan di muka. Sementara manfaatnya baru akan dirasakan jauh di masa depan. "Jadi ongkosnya langsung terasa tapi manfaatnya belum kelihatan," kata Indra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement