Senin 09 May 2022 16:59 WIB

Pidato Perpisahan Presiden Korsel Soroti Perdamaian dengan Korut

Presiden Korsel mengungkapkan perdamaian adalah syarat untuk kelangsungan hidup.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Friska Yolandha
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in menyampaikan pidato perpisahan di Gedung Biru kepresidenan di Seoul, Korea Selatan, Senin, 9 Mei 2022. Moon membela kebijakannya untuk melibatkan Korea Utara, mengatakan dalam pidato perpisahannya Senin bahwa ia berharap upaya untuk memulihkan perdamaian dan denuklirisasi di Semenanjung Korea akan terus berlanjut.
Foto: Sur Myung-gon/Yonhap via AP
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in menyampaikan pidato perpisahan di Gedung Biru kepresidenan di Seoul, Korea Selatan, Senin, 9 Mei 2022. Moon membela kebijakannya untuk melibatkan Korea Utara, mengatakan dalam pidato perpisahannya Senin bahwa ia berharap upaya untuk memulihkan perdamaian dan denuklirisasi di Semenanjung Korea akan terus berlanjut.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden Korea Selatan Moon Jae-in menyampaikan pidato perpisahan pada Senin (9/5/2022). Dia berbicara tentang keputusannya selama menjabat termasuk membela kebijakannya untuk melibatkan Korea Utara.

Moon akan meninggalkan kantor kepresiden pada Selasa (10/5/2022), setelah masa jabatan lima tahun berakhir. Dia menyerahkan kekuasaan dan tanggung jawab kepresidenan kepada Yoon Suk-yeol yang memiliki pandangan berbeda tentang sikap yang harus ditundukan Korea Selatan terhadap negara tetangganya.

Baca Juga

"Perdamaian adalah syarat untuk kelangsungan hidup dan kemakmuran kita. Saya sangat berharap bahwa upaya untuk melanjutkan dialog antara Korea Selatan dan Korea Utara dan membangun denuklirisasi dan perdamaian akan terus berlanjut,” kata Moon dalam pidato yang disiarkan secara nasional.

Moon merupakan sosok liberal yang lebih menyukai pemulihan hubungan antara dua Korea yang saling bersaing. Dia menjabat pada 2017 dan bermanuver secara diplomatis karena uji coba nuklir dan rudal Korea Utara yang sering dilakukan. Namun, akhirnya mengambil kesempatan untuk berdamai dengan Korea Utara ketika pemimpinnya Kim Jong-un tiba-tiba menghubungi Seoul dan Washington pada awal 2018 untuk pembicaraan tentang masa depan persenjataan nuklirnya yang semakin maju.

Dalam pidato terakhir Moon, dia mengklaim pemerintahnya membantu meringankan bahaya perang di Semenanjung Korea dan memunculkan harapan perdamaian melalui diplomasi. "Alasan mengapa kami gagal melangkah lebih jauh bukan karena kami tidak memiliki usaha dan tekad untuk melakukannya. Ada penghalang yang tidak bisa kami atasi hanya dengan tekad kami. Itu adalah penghalang yang harus kita atasi, ”kata Moon tanpa menjelaskan apa hambatannya.

Kedua pemimpin Korea bertemu tiga kali untuk pertemuan puncak pada 2018, mengambil langkah-langkah untuk menurunkan ketegangan di perbatasan dan memungkinkan program pertukaran langka yang melibatkan penyanyi, tim bola basket, dan lainnya. Moon juga melobi keras untuk menengahi diplomasi nuklir yang sekarang terhenti antara Kim dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Tapi, diplomasi Korea Utara dan AS runtuh pada 2019 dan Moon telah menghadapi kritik pedas bahwa kebijakan keterlibatannya hanya membantu Korea Utara mengulur waktu. Sikap Moon dinilai menyempurnakan program senjata Pyongyang dalam menghadapi sanksi dan kampanye tekanan yang diberlakukan Washington.

Meski hubungan kedua tetangga naik turun dalam masa jabatan Moon, pada bulan lalu, Moon dan Kim bertukar surat resmi terakhir yang mengungkapkan harapan untuk meningkatkan hubungan bilateral. Meski, tiga hari usai surat itu, Kim mengadakan parade militer besar-besaran di Pyongyang.

Beberapa ahli mengatakan Kim bertujuan untuk mengguncang pemerintahan Yoon yang akan datang sambil memodernisasi persenjataan. Kim pun mencoba menekan pemerintahan Presiden AS Joe Biden untuk melonggarkan sanksi terhadapnya. Pejabat Korea Selatan mengatakan Korea Utara juga tampaknya sedang mempersiapkan uji coba nuklir pertamanya sejak 2017.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement