Senin 09 May 2022 12:20 WIB

Indahnya Saling Memaafkan, Idul Fitri Saatnya Akhiri Cebong Vs Kampret

Memaafkan itu lebih utama daripada meminta maaf terlepas siapa yang salah.

Ilustrasi Idul Fitri. Idul Fitri adalah momentum saling memaafkan dan mengakhiri pertempuran Cebong Vs Kampret
Foto: MGIT03
Ilustrasi Idul Fitri. Idul Fitri adalah momentum saling memaafkan dan mengakhiri pertempuran Cebong Vs Kampret

Oleh : Aswar Hasan, Deklarator KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam) Sulawesi Selatan, KPI Pusat Periode 2019/2022, Dosen tetap Ilmu Komunikasi Fisip Unhas Makassar

REPUBLIKA.CO.ID, Momen lebaran Idul Fitri dimeriahkan dengan ucapan permintaan maaf dari lahir hingga batin. Ucapan semacam itu, bertebaran di media sosial, di iklan media mainstream ataupun di setiap momen perjumpaan secara fisik, terucap kata: “Mohon Maaf Lahir Batin”. Ya, meminta maaf lahir batin, sudah merupakan  Kebutuhan  manusia yang tak luput dari salah dan khilaf. Kita pun baru merasa tenang dan kembali normal saling bersilaturrahmi, jika sudah saling memaafkan.

Sesungguhnya, dalam konteks  akhlak Islamiyah, yang paling ditekankan adalah mengutamakan point diksi memaafkan bukan meminta maaf. Karena faktor kultur, sosiologis dan  psikologis, masyarakat pun mendahulukan meminta maaf.

Sementara itu, pengarusutamaan untuk lebih mengutamakan memaafkan pun, menjadi faktor terkemudiankan. Akhirnya, yang lebih memasyarakat adalah pilihan untuk memulai mengajukan/menyampaikan permintaan maaf.

Padahal, menurut Pakar Tafsir Alquran Quraish Shihab, hampir tidak ditemukan dalam Alquran perintah untuk meminta maaf. Meminta maaf tidak perlu diperintahkan, karena meminta maaf hanya datang jika seseorang menyadari kesalahannya, sehingga dengan tulus memintanya (Liputan6.com, 13/5-2019).

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh." (QS. Al-A’raf: 199).  

Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS An-Nuur :22)

“Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (Q.S. al Mujadilah:2).

Dipertegas lagi dengan hadits, bahwa: “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah  bersabda: “Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan (HR Ath-Thabrani).

Jadi, mendahului dengan inisiatif untuk memaafkan, adalah hal yang diutamakan,: “Rasulullah SAW bersabda, "Iman yang paling utama adalah sabar dan pemaaf atau lapang dada," (HR. Bukhari dan Ad Dailani).

“Maafkanlah, niscaya kamu akan dimaafkan (oleh Allah)." (HR. At Tabrani). Jadi, sesungguhnya yang ideal itu adalah memasyarakatkan untuk saling memaafkan bukan sekadar menyemarakkan untuk saling meminta maaf. “Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan”. (HR Ath-Thabrani).

Memaafkan itu adalah refleksi dari resultante puasa selama Ramadhan, yaitu taqwa. Dengan kata lain, memaafkan itu adalah manifestasi dari taqwa sebagai hasil penggodokan Iman selama ramadan ( QS. 2 :183, 3: 133,134).

Karenanya, jika seseorang yang justru terlebih dahulu datang meminta maaf, maka secara akhlak Islami, wajib hukumnya untuk memaafkannya. Jika tidak juga mau memaafkan, maka jangan harap diberi kesempatan untuk mendatangi telaga Al Kausar: “Barangsiapa yang didatangi  saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya, apakah ia berada di pihak  yang benar ataukah yang salah, apabila tidak melakukan hal  tersebut (memaafkan), niscaya tidak akan mendatangi telagaku (di akhirat) (HR Al-Hakim).

Sungguh, memaafkan itu lebih utama daripada meminta maaf terlepas siapa yang salah. Termasuk bagi yang telah merasa terzalimi. “Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan (HR Ath-Thabrani).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement