Senin 09 May 2022 07:14 WIB

Studi: Otak Manusia Berubah Bentuk Saat Berada di Luar Angkasa

Berada di luar angkasa dalam waktu yang lama dapat mengubah struktur otak

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Christiyaningsih
Berada di luar angkasa dalam waktu yang lama dapat mengubah struktur otak. (ilustrasi)
Foto: Pixabay
Berada di luar angkasa dalam waktu yang lama dapat mengubah struktur otak. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Studi menemukan berada di luar angkasa dalam waktu yang lama dapat mengubah struktur otak. Menurut studi yang diterbitkan dalam Scientific Reports, perjalanan jauh dari bumi dapat mengubah ruang di sepanjang pembuluh darah dan arteri orak.

Studi tersebut membantu memberi informasi untuk memastikan astronaut mampu bertahan dalam perjalanan panjang ke Mars dan tempat lain yang direncakan dalam tahun mendatang. Salah seorang peneliti yang menjadi asisten profesor pediatri di Oregon Health & Science University, Juan Piantino, mengatakan para ilmuwan menelitik otak dari 15 astronaut sebelum dan sesudah mereka melakukan perjalanan jauh ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).

Baca Juga

Dalam penelitiannya, para ilmuwan menggunakan pencitraan resonansi magnetik untuk mengukur ruang perivascular atau ruang di sekitar pembuluh darah. Mereka melihat bagaimana ruang itu berubah saat astronaut pergi dan kembali ke bumi.

Menurut penelitian, para ilmuwan menemukan ruang tersebut meningkat setelah astronaut menuju ke luar angkasa untuk pertama kalinya. Namun, setelah mereka pergi lagi, ruang-ruang itu tampaknya tidak berubah.

Para ilmuwan tidak menemukan astronaut memiliki masalah keseimbangan atau memori visual yang mungkin menunjukkan perubahan tersebut menyebabkan masalah neurologis. Akan tetapi, ruang-ruang itu juga penting bagi kehidupan manusia di bumi. Sebab, mereka adalah bagian penting dari pembersihan otak, misalnya yang terjadi selama tidur nyenyak.

Proses itu kemungkinan besar akan berubah ketika manusia meninggalkan tarikan gravitasi di mana fisiologi manusia terbentuk. Studi ini dapat digunakan untuk menginformasikan pemahaman baik astronot dalam perjalanan jauh maupun mereka yang berada di bumi yang memiliki kelainan yang melibatkan cairan serebrospinal.

“Temuan ini tidak hanya membantu untuk memahami perubahan mendasar yang terjadi selama penerbangan luar angkasa, tetapi juga untuk orang-orang di bumi yang menderita penyakit yang memengaruhi sirkulasi cairan serebrospinal,” kata Piantino dikutip Independent, Senin (9/5/2022).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement