Jumat 06 May 2022 09:40 WIB

Sholat Id di Lapangan dan Toleransi Muhammadiyah-NU

Muhammadiyah dan NU bisa hidup berdampingan, saling menerima dan melengkapi.

  Sejumlah Jamaah Muslim Muhammadiyah melaksanakan Sholat Id di lapangan.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Sejumlah Jamaah Muslim Muhammadiyah melaksanakan Sholat Id di lapangan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Ma’mun Murod Al-Barbasy, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta

Senin, 2/5/2022 saya menjadi khatib Sholat Idul Fitri (Sholat Id) di Lapangan Barat Margasari Kabupaten Tegal Jawa Tengah. Kegiatan Sholat Id ini diselenggarakan oleh Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Margasari Kabupaten Tegal.

Ada hal menarik dari pelaksanaan Sholat Id ini. Tentu saja bukan semata terkait pelaksanaan Sholat Id yang di lapangan, karena bagi Muhammadiyah bukan sesuatu yang baru, tapi lebih terkait dengan toleransi tempat pelaksanaan Sholat Id. Ada kearifan dalam menyikapi dua Sholat Id yang berbeda tempat.

Tradisi Sholat Id di lapangan memang pertama kali diperkenalkan oleh Muhammadiyah. Haedar Nashir (2010) mencatat pelaksanaan Sholat Id di lapangan untuk pertama kalinya dilakukan Muhammadiyah pada 1926 dengan mengambil lokasi di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta.

Haedar menulis KH Ahmad Dahlan yang wafat pada 1923 itu telah berusaha memahamkan umat Islam agar mengikuti sunnah Nabi Muhammad saw dengan melaksanakan Sholat Id di lapangan. Pelaksanaan Sholat Id di lapangan ini merujuk pada hasil keputusan Kongres Muhammadiyah ke-15 tahun 1926 di Surabaya, saat Muhammadiyah dipimpin oleh KH Ibrahim.

Tradisi Sholat Id di lapangan bermula dari kritikan seorang tamu dari India pada masa kepemimpinan KH. Ibrahim. Tamu ini memprotes mengapa Muhammadiyah yang telah memposisikan diri sebagai kelompok pembaru, pencerahan (tajdid) melaksanakan Sholat Id bertempat di dalam Masjid Keraton Yogyakarta dan tidak melaksanakannya di lapangan sebagaimana telah dicontohkan Rasul oleh Muhammad saw (St. Nurhayat, dkk., 2019).

Contoh Rasul dimaksud tentu merujuk pada Hadis: “Dari Abu Said al-Khudri r.a. bahwa ia berkata: Rasulullah saw keluar ke lapangan tempat sholat (mushalla) pada Hari Id, lalu hal pertama yang dilakukannya adalah sholat kemudian ia berangkat dan berdiri menghadap jamaah, sementara jamaah tetap duduk pada shaf masing-masing, lalu Rasulullah menyampaikan wejangan, pesan, dan beberapa perintah (HR al-Bukhari).

Sebagai hal yang baru, mulanya Sholat Id di lapangan menimbulkan pertentangan dan ketegangan, juga dinilai tidak lazim. Ketaklaziman ini kalau merujuk pada tradisi keberagamaan mainstream di Indonesia memang bisa dipahami.

Diketahui mayoritas umat Islam di Indonesia adalah penganut Madzhab Syafii, pandangan Imam Syafii Sholat Id di masjid lebih utama, meskipun dengan catatan bahwa lebih utamanya Sholat Id di masjid itu selagi masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut. Jika tidak mampu menampungnya, maka tidak dianjurkan Sholat Id di dalam masjid (Cholil Nafis, nu.online, 3/5/2022).

Sementara tiga madzhab lainnya: Imam Hanafi dan Imam Hambali menghukumi sunah Sholat Id di lapangan dan makruh melaksanakan di masjid, termasuk Masjidil Haram, dan Imam Malik menghukumi sunnah Sholat Id di lapangan dan makruh di masjid, kecuali Masjidil Haram.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement