Kamis 05 May 2022 20:46 WIB

The Fed Naikkan Suku Bunga, Gejolak Pasar Keuangan Diperkirakan Minim

Pasar sudah mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Fuji Pratiwi
Televisi di New York Stock Exchange menunjukkan Ketua Federal Reserve Jerome Powell. Kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, Federal Reserve (the Fed), diperkirakan tidak akan terlalu berdampak terhadap pasar keuangan dalam negeri.
Foto: AP Photo/Richard Drew
Televisi di New York Stock Exchange menunjukkan Ketua Federal Reserve Jerome Powell. Kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, Federal Reserve (the Fed), diperkirakan tidak akan terlalu berdampak terhadap pasar keuangan dalam negeri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, Federal Reserve (the Fed), diperkirakan tidak akan terlalu berdampak terhadap pasar keuangan dalam negeri. Pasar disebut telah mengantisipasinya terlebih dahulu. 

"Investor relatif sudah melakukan priced in terkait arah kenaikan bunga the Fed sehingga gejolak di pasar keuangan Indonesia relatif minim," kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, Kamis (5/5).

Baca Juga

Menurut Bhima, investor saat ini lebih mencermati kenaikan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang diperkirakan terus meningkat sejalan dengan naiknya suku bunga the Fed. Selisih antara yield US Treasury dengan SBN tenor 10 tahun juga terbilang masih jauh atau sebesar 4,05 persen. 

Bhima menilai, menanam uang di Indonesia masih cukup menarik bagi investor. Dorongan penerimaan devisa dari kenaikan harga komoditas juga membantu menahan gejolak kebijakan moneter the Fed.

Bhima menilai, hal yang perlu menjadi kekhawatiran adalah naiknya bunga pinjaman di dalam negeri. Kenaikan suku bunga ini akan lebih dulu mengerek suku bunga kredit kepemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor.

Kredit modal kerja juga rentan mengalami kenaikan bunga sehingga biaya dana atau cost of fund pelaku usaha akan semakin mahal. "Jika kredit melambat maka pemulihan ekonomi bisa terganggu," kata Bhima. 

Ekonom dan peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, kenaikan suku bunga the Fed sudah diproyeksikan sejak awal, terutama karena adanya konflik geopolitik yang mendorong inflasi lebih tinggi. 

Kenaikan ini diproyeksikan akan mendorong larinya aliran modal dari negara-negara berkembang. Di Indonesia, potensi kenaikan inflasi cukup tinggi dibandingkan tahun lalu karena kelanjutan pemulihan ekonomi serta kenaikan tarif PPN, Pertamax, serta rencana kenaikan tarif listrik dan Pertalite.

Dengan kombinasi kebijakan di atas, Yusuf melihat, Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter akan ikut menaikkan suku bunga acuan. Apalagi, jika melihat kondisi pemulihan ekonomi bisa berlanjut setidaknya sampai kuartal III tahun ini. 

"Pemerintah dan BI akan merespons dengan menaikkan suku bunga acuan setidaknya satu kali," kata Yusuf.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement