Polisi Maroko Gerebek Kafe, Tahan Orang yang tidak Puasa

Rep: Amri Amrullah/ Red: Ani Nursalikah

Jumat 29 Apr 2022 23:17 WIB

Polisi Maroko Gerebek Kafe, Tahan Orang yang tidak Puasa Foto: Pixabay Polisi Maroko Gerebek Kafe, Tahan Orang yang tidak Puasa

REPUBLIKA.CO.ID, MARAKESH -- Otoritas Maroko menangkap setidaknya 50 orang karena tidak berpuasa, Rabu (27/4/2022). Mereka makan saat siang hari Ramadhan di sebuah kafe di Casablanca.

Penangkapan mereka yang Muslim, namun tidak berpuasa ini bagian dari tindakan tegas yang diterapkan beberapa pekan terakhir. Kesaksian dari para wanita yang ditangkap mengatakan seorang perwira polisi wanita menggeledah mereka untuk memeriksa apakah mereka sedang menstruasi atau tidak sebelum membebaskan mereka. Berdasarkan hukum, Maroko melarang Muslim berbuka puasa di tempat umum saat siang hari. 

Baca Juga

Pada Rabu sore, pasukan polisi menyerbu Café La Cadence di Casablanca dan menangkap basah sekitar 50 pria dan wanita dewasa yang sedang makan di siang hari di kafe tersebut. Mereka yang ditangkap meninggalkan lokasi dengan wajah tertutup untuk menghindari kamera dan pertanyaan wartawan.

Media Maroko menyiarkan video langsung dari dalam kafe yang menunjukkan bukti mereka tidak menjalankan puasa, seperti makanan yang belum mereka nikmati. Aksi penangkapan bagi mereka yang Muslim, namun tidak berpuasa itu memicu perdebatan sengit di media sosial.

LSM hak asasi manusia Maroko, aktivis, dan jurnalis semuanya mengutuk tindakan keras polisi di bawah pemerintahan yang mengaku liberal. Sementara itu, beberapa warga Maroko lainnya memberi hormat kepada upaya pihak berwenang untuk menjaga identitas umat Islam di negara itu. Perdebatan meningkat ketika Moroccan Outlaws memaparkan fakta penangkapan.

"Seorang karyawan wanita yang bekerja di kantor polisi memverifikasi apakah wanita yang ditangkap benar-benar mengalami menstruasi. Mereka membuat daftar orang-orang yang terbukti sedang menstruasi dan mereka segera dibebaskan," kata kesaksian yang dibagikan warganet di Twitter.

Tahanan lainnya dibebaskan pada larut malam, tanpa informasi lebih lanjut tentang kasus mereka. Menurut aturan hukum pidana di Maroko, berbuka puasa di depan umum selama hari Ramadhan adalah kejahatan, kecuali dengan alasan yang diizinkan agama.

“Barang siapa yang terkenal karena pemeluk agama Islam, berbuka puasa di tempat umum pada bulan Ramadhan, tanpa alasan yang diperbolehkan oleh agama ini, diancam dengan pidana penjara satu sampai enam bulan dan denda 200 hingga 500 dirham (20 hingga 50 dolar AS)," kata pasal 222 dari aturan hukum pidana di Maroko.

Dalam Islam, ada beberapa alasan yang membolehkan seseorang untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Antara lain wanita yang sedang mengalami menstruasi atau pendarahan setelah melahirkan, sedang hamil atau menyusui, serta orang tua dan orang dengan kondisi kesehatan kritis.

Secara khusus, berita wanita yang ditangkap mengalami pemaksaan tes menstruasi, telah mengganggu banyak orang di Maroko. Kelompok liberal sangat mengecam teknik memalukan, misoginis, dan ilegal yang dilakukan pihak berwenang.

"Itu melanggar hukum dan tidak dapat diterima untuk mempermalukan wanita seperti itu. Ketika saya membaca berita itu memberi saya kilas balik skandal tes keperawanan di Mesir. Itu adalah proses misoginis serupa yang tidak menghormati wanita atau agama yang mereka klaim sangat hormati," ujar seorang siswa Maroko berusia 23 tahun, Dounia.

Pada 2011, sekelompok wanita di Mesir menjadi sasaran tes keperawanan paksa oleh tentara Mesir. Di bawah tekanan internasional, dokter yang melakukan operasi untuk memeriksa keperawanan para aktivis itu dibawa ke pengadilan. Namun pengadilan memutuskan pembebasannya pada 2012, membuat banyak penerima tes tersebut kecewa.

Seorang pengacara dan aktivis di Moroccan Outlaws, Ghizlane Mamouni menjelaskan bukti lebih lanjut yang membuktikan proses tes keperawanan di periode itu dapat mengarah pada kasus pelecehan seksual berbahaya yang dilakukan oleh polisi. "Jika wanita yang ditangkap terbukti menjalani tes menstruasi, hal itu dapat mengarah pada kasus seksual berbahaya. Terutama bagi korban yang tidak diperiksa oleh polisi wanita, bahkan bukan oleh dokter. Tes periode ilegal dan mereka mengeksploitasi tubuh wanita yang diperiksa," kata Mamouni kepada The New Arab.

Sejak 2019, Morocco Outlaws telah meminta pemerintah Maroko untuk mereformasi hukum pidananya. Termasuk menghapus beberapa pasal yang menyalahgunakan kebebasan pribadi warga negara Maroko, diantaranya pasal 222.