Jumat 29 Apr 2022 16:45 WIB

CIPS: Larangan Ekspor CPO Rugikan Petani dan Ganggu Pemulihan Ekonomi

Kebijakan ini akan mengakibatkan banjir stok sawit domestik.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Fuji Pratiwi
Pekerja menaikkan buah kelapa sawit yang baru panen di kawasan perkebunan sawit di Desa Berkat, Bodong-Bodong, Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, Kamis (10/3/2022). Ekonom menilai, pelarangan ekspor minyak sawit (CPO) dan turunannya yang dimulai pada Kamis (28/4/2022) dapat mendistorsi pasar, merugikan petani dan mengganggu pemulihan ekonomi.
Foto: Antara/Basri Marzuki
Pekerja menaikkan buah kelapa sawit yang baru panen di kawasan perkebunan sawit di Desa Berkat, Bodong-Bodong, Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, Kamis (10/3/2022). Ekonom menilai, pelarangan ekspor minyak sawit (CPO) dan turunannya yang dimulai pada Kamis (28/4/2022) dapat mendistorsi pasar, merugikan petani dan mengganggu pemulihan ekonomi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai, pelarangan ekspor minyak sawit (CPO) dan turunannya yang dimulai pada Kamis (28/4/2022) dapat mendistorsi pasar, merugikan petani dan mengganggu pemulihan ekonomi.

Board Member CIPS, Arianto Patunru, mengatakan, kebijakan ini akan mengakibatkan banjir stok sawit domestik. Akibatnya, harga buah tandan segar akan terjun bebas dan hal ini akan merugikan petani sawit, sebagaimana disampaikan oleh

Baca Juga

"Pelarangan ini juga akan mengganggu pemulihan ekonomi.  Ekspor CPO dan turunannya bisa mencapai sekitar 10 persen total ekspor Indonesia. Dengan pelarangan eskpor, PDB kita akan turun. Dengan demikian proses pemulihan ekonomi dari hantaman Covid-19 akan terganggu," kata Arianto dalam keterangan resmi, Jumat (29/4/2022).

Ia juga menekankan dampak kebijakan ini terhadap perekonomian global karena Indonesia adalah ekportir utama CPO. Berkurangnya suplai CPO akan menyebabkan kenaikan harga CPO global dan sudah terjadi. Selanjutnya, hal ini akan menciptakan potensi adanya pengaduan ke WTO dan bahkan retaliasi oleh mitra dagang.

"Ujung-ujungnya, ia memberi kesan buruk atas perilaku Indonesia dalam pergaulan internasional. Padahal, Presidensi Indonesia pada G20 adalah peluang strategis untuk mempromosikan pemulihan ekonomi global," tambahnya.

Ekonom Australian National University (ANU) ini juga menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan ini. Menurutnya, jika tujuannya mengendalikan harga minyak goreng, kebijakan yang mungkin lebih efektif adalah pajak ekspor untuk RBD palm olein.

Ia menyebut, pengenaan pajak ekspor lebih baik daripada Domestic Market Obligation (DMO), apalagi pelarangan ekspor secara total, karena memunculkan pemasukan buat negara. Sementara DMO susah diawasi, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Namun, kalau memang harus menerapkan DMO, perlu transparansi dan pengawasan yang ketat.

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan segala aspek secara seksama dalam mengeluarkan kebijakan. Kesimpangsiuran kebijakan CPO ini mengurangi kepercayaan masyarakat atas kemampuan pemerintah mengambil keputusan publik. Kesimpangsiuran juga memunculkan ketidakpastian yang berdampak pada persepsi atas iklim investasi di Indonesia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement