Jumat 29 Apr 2022 15:40 WIB

Anggota Dewan: Larangan Ekspor CPO Harus Ada Kejelasan Batas Waktu

Tangki penyimpanan dinilai akan penuh jika ekspor CPO ditutup selama tiga bulan.

Pekerja mengumpulkan buah kelapa sawit di salah satu tempat pengepul kelapa sawit di Jalan Mahir Mahar, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (26/4/2022). Dalam beberapa hari terakhir harga kelapa sawit di daerah tersebut mulai menurun dari Rp3.780 ribu per kilogram menjadi Rp2.200 ribu per kilogram, penurunan itu terjadi menyusul adanya kebijakan terkait larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) mulai 28 April mendatang.
Foto: ANTARA/Makna Zaezar
Pekerja mengumpulkan buah kelapa sawit di salah satu tempat pengepul kelapa sawit di Jalan Mahir Mahar, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (26/4/2022). Dalam beberapa hari terakhir harga kelapa sawit di daerah tersebut mulai menurun dari Rp3.780 ribu per kilogram menjadi Rp2.200 ribu per kilogram, penurunan itu terjadi menyusul adanya kebijakan terkait larangan ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) mulai 28 April mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VI DPR, Firman Subagyo, meminta pemerintah untuk memiliki patokan batas waktu yang jelas dalam kebijakan larangan ekspor sementara minyak sawit (CPO) serta produk turunannya. Tanpa kejelasan kebijakan, akan berdampak negatif baik bagi industri sawit maupun terhadap penerimaan negara.

"Pemerintah boleh melakukan larangan ekspor tapi harus ada batas waktu yang jelas," kata Firman dalam webinar Forum Wartawan Pertanian yang digelar pada Kamis (28/4/2022) kemarin.

Baca Juga

Dilihat dari sisi produksi, ia mencatat rata-rata produksi minyak sawit nasional berkisar 3 juta hingga 3,5 juta ton per bulan. Sementara total kapasitas tangki sekitar 9 juta ton. Dengan kata lain, tangki akan penuh dalam waktu tiga bulan jika ekspor disetop.

Pasalnya, mayoritas atau 65 persen pangsa pasar minyak sawit mayoritas masih diserap oleh pasar luar negeri. Penuhnya kapasitas tangki dengan tanpa kejelasan batas waktu akan menyetop produksi dari sektor hulu. "Kalau produksi berhenti, akan muncul pengangguran dan lain-lain," kata dia.

Dampak kedua yakni produksi bahan bakar B30 akan terganggu. Sebab, ekspor yang disetop maka dana pungutan ekspor sawit yang dibutuhkan untuk insentif produksi B30 juga akan terhenti. Jika itu terjadi, solusinya maka pemerintah harus kembali menambah subsidi bahan bakar Solar yang sebelumnya disubstitusi dengan B30.

Adapun dari sisi perdagangan, potensi devisa tentu akan hilang. Jika larangan ekspor berkepanjangan, pemerintah tentu harus mencari pengganti devisa sawit yang hilang. "Oleh karena itu saya sampaikan kita tidak boleh puas dan diam dengan larangan ekspor ini, justru ini menjadi tantangan besar," katanya.

Dalam kesempatan berbeda, Plt Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga, meminta pemerintah membuat key performance indikator (KPI) atau indikator keberhasilan dalam kebijakan tersebut.

Sebab, tidak mungkin jika larangan ekspor CPO harus menargetkan seluruh wilayah Indonesia hingga ke pelosok mendapatkan pasokan minyak goreng yang selama ini pun tidak pernah terdapat minyak goreng. "Perlu ditetapkan KPI, misalnya 85 persen pasar Indonesia sudah dipenuhi maka itu bisa dianggap sebagai capaian prestasi dari regulasi. Kalau itu tidak jelas maka kita akan sulit," katanya.

Sahat pun mengimbau, agar seluruh pabrik kelapa sawit (PKS) bisa bekerja sama dalam menjalankan kebijakan pemerintah. "Saya pikir kalau dijalankan dengan benar, bulan Mei semua akan selesai," kata dia.

Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto, sebelumnya mengatakan, masa berlaku kebijakan itu yakni hingga harga minyak goreng curah bisa turun ke level Rp 14 ribu per liter. Pemerintah pun akan selalu mengevaluasi kebijakan larangan sementara CPO secara periodik.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement