Jumat 29 Apr 2022 11:57 WIB

Pembangunan Jalan ke Kawasan Otorita Labuan Bajo Hadapi Hambatan

Sekelompok oknum masyarakat sengaja mengganggu jalannya pekerjaan.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Nidia Zuraya
Warga negara asing (WNA) menaiki sekoci saat akan menyeberang ke Labuan Bajo, NTT dengan menggunakan kapal pinisi di Pelabuhan Serangan, Denpasar, Bali, Kamis (28/10/2021). Penyeberangan menuju ke Pulau Nusa Penida, Pulau Gili Lombok, NTB dan Labuan Bajo, NTT melalui pelabuhan tersebut mulai ramai sejak awal bulan Oktober 2021 dengan rata-rata 50-100 wisatawan per hari.
Foto: ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo
Warga negara asing (WNA) menaiki sekoci saat akan menyeberang ke Labuan Bajo, NTT dengan menggunakan kapal pinisi di Pelabuhan Serangan, Denpasar, Bali, Kamis (28/10/2021). Penyeberangan menuju ke Pulau Nusa Penida, Pulau Gili Lombok, NTB dan Labuan Bajo, NTT melalui pelabuhan tersebut mulai ramai sejak awal bulan Oktober 2021 dengan rata-rata 50-100 wisatawan per hari.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengembangan kawasan pariwisata Bowosie Labuan Bajo yang terintegrasi dan berkelanjutan kini mulai dikerjakan termasuk akses ke kawasan hutan. Sayangya pengerjaan tersebut justru menghadapi hambatan.

Saat pembukaan jalan ke kawasan hutan pada Senin (25/4/2022), sekelompok oknum masyarakat sengaja mengganggu jalannya pekerjaan. Hal tersebut dilakukan dengan menghadang ekskavator, bentangkan spanduk protes hingga berteriak ke petugas agar pekerjaan dihentikan dan berdalih lahan hutan tersebut milik mereka.

Baca Juga

Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) Shana Fatina menjelaskan pembangunan akses jalan yang dilakukan sudah sesuai prosedur dan memiliki dasar hukum yang kuat. "Pembangunan akses jalan menuju Kawasan otorita berdasarkan Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: S.220/Menlhk/Setjen/PLA.2/5/2021 tanggal 31 Mei 2021," kata Shana dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (29/4/2022).

Shana menjelaskan tim BPOLBF sejak 2019 sudah melakukan komunikasi intens dengan masyarakat sekitar dan selalu melibatkan desa sekitar dalam setiap langkah kegiatan dan pembangunan seperti Desa Golo Bilas, Desa Gorontalo, dan Kelurahan Wae Kelambu sebagai desa penyangga kawasan melalui sosialisasi kepada masyarakat. Selain itu juga berkoordinasi dengan pemerintah desa yang bersangkutan di setiap tahap kegiatan dalam serangkaian program pembangunan dan pengembangan Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores.

Secara administratif, lanjut Shana, wilayah penyangga kawasan otorita ada di Desa Golo Bilas, Desa Gorontalo, dan Kelurahan Wae Kelambu. Dia menuturkan, BPOLBF melalui tim terpadu sejak 2020 telah berkoordinasi dengan dua Kantor Desa dan satu Kantor Kelurahan tersebut serta telah melakukan sosialisasi terkait rencana pengembangan kawasan pariwisata yang akan dilaksanakan oleh BPOLBF.

Terkait isu lingkungan, Shana menegaskan BPOLBF juga telah melakukan kajian ilmiah dan telah keluar AMDAL yang menjadi acuan BPOLBF dalam melakukan pembangunan diatas kawasan tersebut. "Tentunya dengan mengedepankan kaidah atau nilai keberlangsungan dan berkelanjutan lingkungan. Proses penyusunan AMDAL melibatkan berbagai pihak termasuk dari pihak kelurahan dan desa penyangga, yaitu para Lurah dan Kepala Desa," ungkap Shana.

Sementara itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah Manggarai Barat Stefanus Nali menilai penolakan warga atas pembukaan jalan proyek pengembangan kawasan wisata di hutan Bowosie tidak tepat. Hal tersebut dikarenakam lahan yang diklaim adalah lahan negara yang dirambah.

"Lahan yang dipermasalahkan masuk kawasan Hutan Nggorang-Bowosie. Dalam catatannya, perambahan liar terjadi sejak 1998, dan pada 2015 pihaknya menemukan patok-patok yang terpancang secara ilegal lalu kami laporkan ke polisi,” tutur Stefanus.

Stefanus menjelaskan dengan bertambahnya masyarakat yang menghuni kawasan hutan kelestarian hutan makin terancam. Maraknya perambahan liar menyebabkan kerusakan hutan di kawasan hutan Bowosie cukup masif.

Stefanus mengungkapkan, eskipun berkali upaya penertiban dilakukan tetap saja diulang lagi dan makin meluas. Stefanus mengakui dengan keterbatasan personel sangat sulit pengawasan bisa maksimal terlebih area hutan yang cukup luas.

"Sebagai contoh, dari luas lahan 400 hektare yang akan dikelola BPOLBF, kurang lebih 135 hektare atau 34 persen telah rusak dan kondisinya telah dibabat habis dan dibakar perambah hutan," kata Stefanus.

Stefabus menjelaskan status hukum Kawasan Hutan Nggorang Bowosie (RTK 108) sebagai lahan negara sebelumnya sudah tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dengan nomor 89/Kts-II/1983 tertanggal 2 desember tahun 1983. SK tersebut memuat ketentuan terkait Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Nusa Tenggara Timur seluas kurang lebih 1,66 juta hektare sebagai Kawawan Hutan yang didalamnya termsuk kawasan hutan Nggorang Bowosie.

Diketahui, BPOLBF saat ini tengah bersiap mengembangkan empat zona pengembangan pariwisata di lahan seluas 400 hektare Hutan Bowosie. Pengembangan area itu untuk menghadirkan kawasan pariwisata berkelanjutan, berkualitas, dan terintegrasi di Labuan Bajo. Pengembangan tersebut berdasar amanah Presiden Joko Widodo melalui Perpres Nomor 32 Tahun 2018 dengan penetapan pengelolaan dilakukan oleh Badan Pelaksana yang dibentuk pada tahun 2019.

Di dalamnya mengatur tentang perubahan status dan pemanfaatan 400 hektare hutan Bowosie di Kabupaten Manggarai Barat, di mana paling sedikit 136 hektare akan diberikan Hak Pengelolaan kepada Badan Otorita. Sisanya dikelola menggunakan skema izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan-Pemanfaatan Jasa Lingkungan (PBPH-JL) sebagai wisata alam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement