Kamis 28 Apr 2022 23:02 WIB

Macam-macam Bukti Menurut Dasar Hukum Islam

Syariat Islam telah memberikan teknis bagaimana menyelesaikannya persoalan.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
 Macam-macam Bukti Menurut Dasar Hukum Islam. Foto:  Fikih atau Fiqih Islam (ilustrasi)
Foto: Dok Republika
Macam-macam Bukti Menurut Dasar Hukum Islam. Foto: Fikih atau Fiqih Islam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Perselisihan atau sengketa karena suatu perkara antara sesama manusia bukan menjadi perkara baru. Syariat Islam telah memberikan teknis bagaimana menyelesaikan persoalan tersebut, salah satunya para pihak yang bersengketa memberikan argumentasi atau bukti. 

Dr. Musthafa Dib Al-Bugha mengatakan, para ulama bersepakat bahwa yang dimaksud dengan bukti adalah kesaksian, karena kesaksian pada umumnya dapat mengungkap kebenaran dan kejujuran orang yang menuduh. 

Baca Juga

"Kesaksian adalah cara pengungkapan dan penampakkan hakekat yang sebenarnya, karena ia bersandar kepada penglihatan langsung dan hadir di tempat kejadian perkara," tulis Dr. Musthafa Dib Al-Bugha dalam kitabnya Al-Wafi: Syarah Hadis Arba'in Imam an-Nawawi.

Menurutnya, bahwa bukti itu bermacam-macam sesuai dengan objek yang dituduhkan dan dampak yang ditimbulkan. Dan yang ditetapkan dalam syariat Allah Azza wa Jalla ada empat:

1. Kesaksian atas perzinaan; Dalam perkara ini disyaratkan hadirnya empat orang saksi laki-laki dan tidak dapat diterima kesaksian kaum wanita. Allah Ta'ala berfirman dalam surah An-Nisa ayat 15 yang artinya.

"Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikan-nya)."

Dalam surah An-Nur ayat 4 Allah juga berfirman yang artinya.

"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)."

2. Kesaksian atas pembunuhan dan kejahatan yang mengharuskan dijatuhkannya hukum tertentu selain perzinaan, seperti: mencuri, minum arak, menuduh orang berzina. Hukuman seperti ini dalam fikih disebut hudud, dan disyaratkan untuk menghadirkan dua orang saksi laki-laki serta tidak dapat diterima kesaksian para wanita. Allah Ta'ala berfirman dalam surah Ath-Thalaq ayat 2

"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu."

Sebagian pengikut madzhab Asy-Syafi'i memasukkan ke dalam perkara seperti ini hak-hak yang tidak terkait dengan masalah harta, seperti nikah, talak, dan sebagainya. Mereka berkata, “Di dalamnya mesti dihadirkan dua orang saksi laki-laki sehingga dapat diyakini kebenarannya.

3.Kesaksian untuk menetapkan hak-hak harta, seperti jual beli,pinjam meminjam, sewa menyewa dan semisalnya. Maka dalam masalah ini diterima kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan, sebagaimana firman Allah surah Al-Baqarah ayat 282 yang artinya.

"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang laki-laki di antara kamu. Jika tak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan  dari saksi-saksi yang kamu ridhai."

Sebagian ahli fikih -seperti pengikut madzhab Hanafi- memasukkan kedalam masalah ini kesaksian atas seluruh hak kecuali hudud dan qishash atas orang yang lewat.

4.Kesaksian atas perkara-perkara yang pada umumnya tidak dapat diketahui oleh kaum laki-laki, yaitu tentang permasalahan kewanitaan. Seperti kelahiran, kegadisan, penyusuan dan lain-lain. Dalam masalah seperti ini kesaksian para wanita dapat diterima walaupun tidak disertai oleh saksi dari kalangan laki-laki, bahkan kesaksian seorang wanita pun dapat diterima sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh mazhab Hanafi.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Uqbah bin Al-Harits Radhiyallahu Anhu bahwa dia menikahi anak perempuan Abu Ihab bin Aziz. Lalu seorang wanita datang dan berkata, “Sesungguhnya saya telah menyusui Uqbah dan wanita yang dia nikahi.” 

Maka Uqbah berkata kepadanya, “Saya tidak tahu bahwa kamu menyusuiku dan kamu tak pernah mengabarkan hal itu kepadaku.” Lalu dia berkendaraan menuju Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di Madinah dan menanyakan tentang masalah yang dihadapinya, maka Rasulullah berkata kepadanya.

"Bagaimana lagi dan hal ini sudah dikatakan." Maka Uqbah menceraikan istrinya, lalu dia menikah dengan lelaki lain. Yaitu bagaimana dia bisa tetap menjadi istrimu padahal telah dikatakan bahwa dia adalah saudari sesusumu? Dan, tidak ada yang mengatakan hal itu kecuali wanita tadi saja.

Selain madzhab Hanafi berpendapat, "Jumlah wanita harus berbilang sehingga kesaksian dua orang wanita diterima, dan penceraian Uqbah terhadap istrinya dilandaskan atas sikap wara' dan kehati-hatian."  

Mereka menambahkan, "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak menyuruh untuk melakukan hal itu."

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement