Sabtu 23 Apr 2022 18:46 WIB

Tiga Periode, Periode Ketiga

Arti ketiga dalam bulan Ramadhan

Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia mengecek paket sembako sebelum didistribusikan kepada warga di Balairung Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Sabtu (23/4/2022). Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) menyalurkan donasi sembako sebanyak 2.700 paket kepada karyawan outsourcing UI golongan 1 dan 2, serta warga Depok yang tersebar di daerah Beji Timur, Aula Pemkot Depok, dan di SDN Beji 2 Depok sebagai upaya meningkatak kepedulian kepada sesama. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia mengecek paket sembako sebelum didistribusikan kepada warga di Balairung Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Sabtu (23/4/2022). Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) menyalurkan donasi sembako sebanyak 2.700 paket kepada karyawan outsourcing UI golongan 1 dan 2, serta warga Depok yang tersebar di daerah Beji Timur, Aula Pemkot Depok, dan di SDN Beji 2 Depok sebagai upaya meningkatak kepedulian kepada sesama. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Akmal Nasery Basral, Sosiolog dan Penulis

PERIODE punya banyak arti, antara lain, “fase”, “tahap”, “babak”, atau dalam konteks kekuasaan, “masa jabatan”. Bulan suci Ramadhan punya tiga periode. Masing-masing berdurasi 10 hari dimulai dengan periode rahmah (turunnya rahmat), periode maghfirah (pengampunan dosa) dan itqun minannaar (terbebas dari neraka). Hari ini, 21 Ramadhan, menandai periode ketiga bulan suci sekaligus periode terakhir sebagai klimaks ibadah sebulan penuh.

Semalam (Jum’at, 22/4) saya memasuki waktu maghrib--awal periode ketiga—bersama para karyawan DPPK (Departemen Pengembangan Pasar Keuangan) Bank Indonesia. Saya diminta menyampaikan sharing jelang buka puasa dengan tema “Laki-laki Moderat & Perempuan Modern, Why Not?”. Sebuah judul unik, bukan?

Acara berjalan santai, hangat dan meriah di Ruang Cut Nyak Dhien Gedung D yang merupakan bagian dari Bank Indonesia Institute. (Respek untuk BI yang memberikan nama ruangan dari sosok perempuan pahlawan Aceh terkemuka). Karpet terhampar di lantai. Karyawan—muslim dan nonmuslim—duduk di bantal-bantal besar. Semua memakai kemeja putih dengan bawahan jins. Sekelompok lain mengikuti acara melalui daring termasuk seorang karyawan yang sedang bertugas di Glasgow, Skotlandia.

Sharing Ramadhan DPPK ini sekaligus merupakan  kick-off  program Change Agent yang dipimpin Donny Hutabarat, Kepala DPPK, sebagai Change Leader dan Rahmatullah sebagai Change Coordinator, untuk menyiapkan SDM DPPK yang lebih lincah dan adaptif menghadapi perubahan pasar keuangan nasional maupun internasional. Meski topik serius, penyampaian dilakukan bukan dalam gaya seminar style  yang kaku, melainkan lebih seperti bincang antarteman. “Kita harus banyak bersyukur. Di tengah suasana pandemi yang belum pulih total dan banyak masyarakat terdampak ekonominya, kita sebagai karyawan BI masih mendapatkan rezeki yang lancar dan stabil,” ujar Rahmatullah.

Agenda lainnya adalah sambut-pisah untuk karyawan yang baru bergabung serta bagi yang mengundurkan diri. Ini segmen emosional, terutama ketika seorang karyawan perempuan yang resign diminta naik ke panggung. Cuplikan masa kerjanya ditampilkan pada dua layar besar di kanan-kiri ruangan, berlanjut dengan obrolan akrab antara dua host dengan yang bersangkutan. Suasana lucu dan haru berbaur jadi satu. Bagian ini ditutup dengan sang karyawati mendapatkan tali kasih dari para atasan dan departemen.

Melihat keakraban dan kehangatan itu, entah mengapa, membuat saya teringat seorang teman yang pernah lama berkiprah di media massa raksasa. Sekitar satu dekade lalu, teman ini pernah bercerita ketika dia resign, kantor memintanya menjalani exit interview agar “kami bisa mendapatkan feedback untuk perbaikan sistem di masa depan,” ujar Staf HRD yang menjalankan wawancara. Tak ada ‘selebrasi pelepasan’ dalam bentuk sederhana sekali pun yang hangat dan patut dikenang.

Di waktu berbeda dan mundur lebih jauh lagi ke masa paruh pertama 90’an, saya pernah mendapatkan pencerahan--yang agak menggetarkan juga--dari seorang wartawan dan sastrawan kawakan, Yudhistira ANM Massardi. “Salah satu ironi media massa sebagai saluran komunikasi adalah komunikasi internal mereka sendiri sering macet. Tak lancar,” ujarnya.

Melihat sambut-pisah di panggung DPPK membuat saya semakin menyetujui pendapat Yudhistira karena ternyata di perusahaan keuangan dengan para “ homo economicus

“ yang sering digambarkan hanya sebagai agen kapitalisme dan kurang memiliki kepekaan hati nurani, justru melepas salah seorang anggota keluarga mereka dalam selebrasi yang penuh makna.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement