Kamis 21 Apr 2022 22:05 WIB

Antara Kartini dan Kiai Soleh Darat, Relasi Kuat Guru dan Murid?

Kartini mendorong Kiai Sholeh Darat untuk cetuskan tafsir bahasa Jawa

Museum RA Kartini di jalan Alun-alun Kota Jepara, Jawa Tengah (Ilustrasi). Kartini mendorong Kiai Sholeh Darat untuk cetuskan tafsir bahasa Jawa
Foto: ANTARA FOTO
Museum RA Kartini di jalan Alun-alun Kota Jepara, Jawa Tengah (Ilustrasi). Kartini mendorong Kiai Sholeh Darat untuk cetuskan tafsir bahasa Jawa

Oleh : Saiful Umam, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menulis disertasi tentang Kitab-kitab Pegon   

REPUBLIKA.CO.ID, Pada peringatan Hari Kartini yang jatuh setiap 21 April, selalu dipenuhi dengan perbincangan berbagai aspek dan peran Kartini.

Selain sebagai aktivis yang memperjuangkan hak-hak parempuan pada masa hidupnya, aspek yang juga sering dibahas dalam beberapa tahun terakhir, terutama oleh sebagian umat Islam, adalah hubungannya dengan Muhammad Shalih bin Umar al-Samarani atau yang lebih dikenal dengan Kiai Soleh Darat. 

Baca Juga

Sejumlah pendapat dan spekulasi dikemukakan dan di antara yang paling penting, Kiai Soleh adalah guru agama Kartini dan telah mengubah pandangan Kartini sehingga lebih agamis. Bahkan disebutkan bahwa karya penting Kiai Soleh, yakni Tafsir Faydlurrahman, ditulis atas permintaan Kartini dan menjadi hadiah perkawinannya. Benarkah demikian? 

Sejauh kajian yang saya lakukan, masih dibutuhkan sumber-sumber yang kuat untuk mengatakan keduanya punya hubungan guru-murid, apalagi sampai mengatakan tafsir tersebut ditulis sebagai hadiah untuk Kartini.  

Guru-murid?

Kartini dan Kiai Soleh Darat memang hidup sezaman, meski beda usia. Kartini wafat pada 17 September 1904 dalam usia 25 tahun dan Kiai Soleh wafat pada 18 Desember 1903 dalam usia diperkirakan 83 tahun. Keduanya diceritakan beberapa kali bertemu di rumah Bupati Demak, yang juga paman Kartini. 

Demak dan tempat tinggal Kiai Soleh di Darat, Semarang, memang tidak jauh. Dan aktivitas dakwah Kiai Soleh sangat mungkin telah membawa keduanya bertemu. Kisah pertemuan keduanya diceritakan secara lisan dan turun-temurun oleh keturunan Kiai Soleh. Meski demikian, sumber-sumber sejarah yg lebih kuat, dalam bentuk catatan atau arsip, sampai saat ini belum ditemukan. 

Dalam beberapa suratnya yang kemudian diterbitkan menjadi buku, Door Duisternis tot Licht (yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang), Kartini menceritakan perubahan pandangannya seputar agama Islam.

Jika dalam surat-surat sebelumnya dia menolak perkawinan dan menganggap agama tidak relevan, pada suratnya mulai 21 Juli 1902, Kartini menceritakan pandangannya terhadap agama, yang itu jelas beda dengan surat-suratnya terdahulu. Dia juga menceritakan bagaimana dia mempelajari agama dan diberi sejumlah buku oleh gurunya.

Dalam suratnya ke EC Abendanon, tertanggal 17 Agustus 1902, Kartini menulis, “Seorang wanita tua di sini, karena senang, menawari kami koleksi bukunya, manuskrip Jawa kuno, banyak yang ditulis dalam huruf Arab. Kita sekarang akan belajar membaca dan menulis ini lagi.” 

Dari kalimat singkat tersebut kita bisa memahami bahwa guru yang mengajarkan langsung tentang agama adalah seorang perempuan tua. Itu artinya, bukan Kiai Soleh yang diceritakan Kartini sebagai gurunya.

Meski demikian, mungkin saja Kiai Soleh memberikan pengaruh kepada Kartini, paling tidak melalui buku-buku yang dipelajari tersebut. Dia jelas menyebut bahwa di antaranya buku yang diberikan kepadanya, banyak ditulis dengan huruf Arab. Ini indikasi kuat bahwa Kartini mempelajari karya-karya Kiai Soleh. Mengapa?             

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement