Kamis 21 Apr 2022 08:51 WIB

OJK Prediksi Pembiayaan Iklim di Indonesia Capai 458 Miliar dolar AS

Sektor lingkungan hidup memiliki peluang besar mendapatkan pendanaan dari perbankan

Rep: Novita Intan/ Red: Gita Amanda
Teknisi melakukan pemeriksaan rutin pada panel surya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, (ilustrasi). Sektor lingkungan hidup memiliki peluang besar untuk mendapatkan pendanaan dari perbankan.
Foto: ANTARA/Novrian Arbi
Teknisi melakukan pemeriksaan rutin pada panel surya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap, (ilustrasi). Sektor lingkungan hidup memiliki peluang besar untuk mendapatkan pendanaan dari perbankan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memprediksi pembiayaan iklim di Indonesia mencapai 458 miliar dolar AS pada rentang 2016-2030. Hal ini dikhususkan sektor energi terbarukan dan green building yang memiliki porsi terbesar.

Direktur Penelitian Bank Umum OJK Mohamad Miftah mengatakan pembiayaan sektor lingkungan hidup memiliki peluang besar untuk mendapatkan pendanaan dari perbankan. “Tentunya, itu akan membuka kesempatan bagi bank yang mampu bersaing dan bisa berhasil mengambil peluang pembiayaan tersebut untuk meningkatkan pembiayaan terkait dengan sustainability finance,” ujarnya saat webinar, Rabu (20/4/2022).

Baca Juga

Jika dirinci khusus di Jakarta, estimasi pembiayaan iklim diperkirakan mencapai 30 miliar dolar AS antara 2018 sampai 2030. Sektor green building tercatat menyerap investasi terbanyak dengan nilai 16 miliar dolar AS, diikuti kendaraan listrik senilai tujuh miliar dolar AS.

Miftah melanjutkan perubahan iklim dapat menjadi risiko bagi sektor perbankan. Maka itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses transisi menuju emisi rendah karbon.

The Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) pada 2021, kata Miftah, telah menyampaikan terdapat dua risiko dari efek perubahan iklim. Pertama, risiko fisik yang menciptakan kerugian finansial akibat meningkatnya bencana alam atau kerusakan lingkungan.

Kedua, risiko transisi. Adapun kondisi ini diakibatkan oleh perubahan kebijakan pemerintah dan stakeholder seiring dengan bergesernya tujuan perekonomian dunia untuk meraih emisi rendah karbon, sehingga menuntut bank menyesuaikan arah kebijakannya.

“Dengan kedua risiko tersebut, bank tentunya semakin dituntut untuk beradaptasi dengan mengintegrasikan pertimbangan risiko iklim ke dalam keputusan strategis proses bisnis dan tata kelola dalam rangka kerja manajemen risiko ini,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement