Kamis 21 Apr 2022 05:21 WIB

Kartini Tidak akan Korupsi

Sifat koruptif tidak mungkin ada dalam DNA Kartini.

Kartini Tidak akan Korupsi. Foto: Sandri Justiana, Pemimpin Redaksi Portal Pembelajaran Antikorupsi aclc.kpk.go.id
Foto: Dok Republika
Kartini Tidak akan Korupsi. Foto: Sandri Justiana, Pemimpin Redaksi Portal Pembelajaran Antikorupsi aclc.kpk.go.id

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sandri Justiana, Pemimpin Redaksi Portal Pembelajaran Antikorupsi aclc.kpk.go.id

 

Baca Juga

Kartini terlahir dari keluarga bangsawan dan kaum cerdik pandai yang terhormat di tanah Jawa. Kakeknya Ario Tjondronegoro, Bupati Demak, dan ayahnya Adipati Aria Sosroningrat, Bupati Jepara, kurang terpandang apa. Kartini dikaruniai kecukupan harta dan digelari Raden Ajeng, perempuan ningrat dari trah darah biru.

Dalam budaya feodalisme Jawa di masa itu, Kartini mestilah diagungkan. Rakyat jelata harus jalan berjongkok bila berlalu di depannya. Jika berbicara dengan Kartini wajib menggunakan krama inggil. Mesti unggah-ungguh sambil menunduk, kalau bisa hingga dagu menempel di dada. Kartini dimanjakan dengan privilese putri keluarga priyayi.  

Di tengah kondisi seperti itu, Kartini amat mungkin menjadi gila kecongkakan, sewenang-wenang karena kekuasaannya. Tapi ternyata tidak. Kartini adalah Kartini. Dalam surat-suratnya yang bisa kita baca di buku "Habis Gelap Terbitlah Terang", dia justru menentang perlakuan istimewa bagi para aristokrat Jawa. Kartini mengaku jengah diperlakukan demikian.

Kartini memprotes jurang kesenjangan kaum ningrat dan rakyat jelata, ketidaksetaraan pendidikan lelaki dan perempuan, atau beda perlakuan kaum Belanda dan Bumiputra. Kartini ingin berada sejajar dengan orang-orang lainnya. Dia tidak mencari keuntungan dari posisinya. Dari sini kita tahu, sifat koruptif tidak mungkin ada dalam DNA Kartini.

Mari kita menuju masa kini ketika mimpi emansipasi Kartini telah terwujud. Perempuan-perempuan bisa sekolah setinggi langit. Tidak ada lagi dinding pembatas kasta. Semua orang punya kesempatan yang sama, setara di hadapan hukum dan Tuhan.

Perempuan-perempuan menempati posisi-posisi strategis di negeri ini, bahkan pernah jadi kepala negara. Tapi terkadang jabatan itu justru dimanfaatkan dan diselewengkan. Jabatan jadi cara mendulang uang dengan cara yang kotor. Celah korupsi dicari-cari, biar pundi-pundi semakin besar mengisi kantong sendiri dan organisasi.

Dalam catatan KPK, dari 2019 hingga 2021 ada 42 kasus korupsi oleh perempuan yang telah inkracht. Memang tidak sebanding dengan banyaknya jumlah koruptor pria di periode yang sama. Tapi ini jelas telah mencoreng cita-cita Kartini. Merah malu muka Kartini jika melihat kelakuan kaum perempuan yang diperjuangkannya tersebut.

Para koruptor perempuan gelap mata dengan jabatannya, berbeda dengan Kartini yang teguh pendirian di tengah titel kebangsawanan. Boleh jadi sifat dasar perempuan adalah lemah lembut, suka kejujuran, berperasaan halus dan tulus. Tapi sifat itu bisa berubah jadi keserakahan setelah tercemari oleh lingkungan tempat dia berada.

Nabi kita yang mulia pernah mengatakan tentang berhati-hati memilih kawan. Berkawan dengan pandai besi, baju akan bolong-bolong. Berkawan dengan penjual parfum, kau akan ikut wangi. Analogi tersebut menunjukkan, lingkungan perkawanan bisa membentuk pribadi seseorang. Hanya pribadi yang berintegritas yang bisa bertahan di tengah gelombang godaan.

Banyak koruptor perempuan yang tak kuasa mengatakan “tidak” pada pelanggaran di sekitarnya. Setiap hari dia dicekoki dengan perilaku dan pemandangan korup, tapi jika diam saja, lama-lama imannya pasti goyang juga. Niat hati melayani rakyat, malah merampok rakyat.

Namun tentu saja, korupsi itu soal pilihan. Perempuan juga manusia yang bebas, berhak menentukan nasib dan pilihan hidupnya sendiri. Korupsi atau tidak korupsi adalah pilihan yang diambilnya dengan sadar. Pergulatan batin saya yakin awalnya pasti ada, tapi alah bisa karena biasa. Melakukan dosa korupsi yang pertama mungkin resah batinnya. Setelah yang ketiga, keempat dan seterusnya, sudah terbiasa. Hatinya sudah beku.

Pilihan untuk korupsi didasari pada sebuah keyakinan. Bisa apa saja, yakin tidak akan tertangkap, yakin akan baik-baik saja, atau yakin ini hanya pelanggaran kecil, bukan masalah besar. Dari keyakinan itu akan timbul niat. Jika niatnya memang melakukan korupsi, maka niat jahat namanya, mens rea

Jika keyakinan sudah memunculkan niat jahat, maka melawannya harus dengan memunculkan hal-hal yang baik. Bicara integritas berarti berbicara tentang kebaikan dan kebenaran. Segala sesuatu yang baik harus dibiasakan. Kebiasaan baik yang dilakukan secara berulang-ulang akan menjadi budaya yang baik. Sebaliknya, hal-hal “jahat” yang selama ini dianggap lumrah dan biasa, harus dihentikan. Bukan justru ditoleransi dan dibenarkan. Oleh karena itu, KPK mengampanyekan slogan “Biasakan yang Benar, Jangan Benarkan yang Biasa”.

Untuk mengampanyekan kebenaran, ada tiga peran besar yang bisa diampu hanya oleh perempuan. Pertama adalah menjadi seorang ibu, pendidik anak-anaknya. Kartini mengatakan bahwa perempuan adalah soko guru peradaban. Melalui perempuan, kata Kartini, terbentuk kemajuan kesusilaan manusia. Dari perempuanlah manusia pertama menerima pendidikan, belajar merasa dan berpikir. Didikan pertama ini sangat besar pengaruhnya bagi kehidupan.

Peran kedua adalah sebagai istri. Seorang perempuan harus mampu menjadi "watchdog" bagi suaminya. Dari mana harta suami berasal, jangan sampai duit korupsi ditenggak juga oleh darah dagingnya. Untuk itulah seorang istri harus juga berintegritas. Jangan sampai malah menjerumuskan suaminya ke jurang korupsi.

Peran ketiga sebagai bagian dari masyarakat, yang menjadi suri tauladan. Perempuan harus bisa menjadi pemimpin yang amanah, baik di antara anak-anaknya, kelembagaan, atau pemerintahan. Saya yakin hati masyarakat akan hancur dan kecewa ketika melihat perempuan yang mereka kenal memakai rompi oranye KPK. 

KPK mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk ikut jadi pendidik, pengawas, dan pencetak generasi antikorupsi. Perempuan akan berdiri kokoh memegang sula pendidikan dalam trisula pemberantasan korupsi KPK. 

Jangan hanya mengaku sebagai Kartini zaman now, tapi sikap dan perilakunya justru mencoreng nilai luhur Kartini. Meneruskan mimpi Kartini bukan cuma meneriakkan emansipasi dan kesetaraan, atau bersanggul dan berkebaya setiap tanggal 21 April. Lebih dari itu. Kartini ingin perempuan berdigdaya, berpendidikan, berbudi pekerti luhur, jujur dan antikorupsi. Tidak hanya bagi diri sendiri, tapi ditularkan ke sekelilingnya.

Mari kita bersama-sama berusaha mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi, mulai dari diri sendiri. Jangan sampai apa yang dicita-cita Kartini dan ingin diwujudkan KPK seperti menggantang asap, sia-sia belaka.

Selamat Hari Kartini. Semoga perempuan Indonesia bisa jadi agen perubahan untuk bangsa dan negara yang bebas dari korupsi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement