Senin 18 Apr 2022 15:33 WIB

Kasus Sifilis Terus Tinggi Ancam Kesehatan Bayi Baru Lahir

Ibu dengan sifilis bisa picu masalah kesehatan bayi lahir.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Nora Azizah
Ibu dengan sifilis bisa picu masalah kesehatan bayi lahir.
Foto: www.freepik.com
Ibu dengan sifilis bisa picu masalah kesehatan bayi lahir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Data laporan tahunan Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) menunjukkan tingkat penyakit menular seksual, gonore dan sifilis tetap tinggi pada 2019 hingga 2020. Menurut Laporan Surveilans STD 2020 CDC yang disusun setiap tahun, jumlah kasus gonore meningkat 10 persen dan kasus sifilis melonjak tujuh persen.

Peningkatan itu sangat memukul bayi yang baru lahir. Bayi yang lahir dari ibu dengan sifilis bisa mendapatkan sifilis kongenital, atau sifilis sekunder selama kehamilan, dan jika tidak teridentifikasi selama kehamilan dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius dan kematian.

Baca Juga

Di antara bayi baru lahir, kasus sifilis naik 15 persen antara 2019 hingga 2020, dan angka itu kini meningkat 235 persen sejak 2016. Penelitian itu menjelaskan tingkat sifilis (primer dan sekunder) meningkat 24 persen di antara wanita usia reproduksi dari 2019 hingga 2020, yang mengakibatkan peningkatan sifilis bawaan.

“Pada 2020 terdapat 2.148 kasus sifilis kongenital, meningkat 15 persen sejak 2019,” kata laporan penelitian itu dilansir People, Senin (18/4/2022).

Para peneliti mengatakan bahwa pencegahan terbaik adalah untuk perawatan prenatal dan tes sifilis. Penyebab paling umum dari peningkatan itu adalah kurangnya akses ke kedua pencegahan tersebut.

“Meskipun ada saat-saat pada 2020 ketika dunia terasa seperti berhenti, penyakit menular seksual tidak,” ujar Direktur Pusat Nasional untuk HIV, Hepatitis Virus, STD, dan Pencegahan TB CDC, Jonathan Mermin.

Para peneliti juga menemukan bahwa tingkat klamidia turun 13 persen selama periode waktu tersebut, meskipun mereka percaya itu mungkin karena lebih sedikit skrining selama pandemi daripada penurunan kasus. Kebanyakan orang dengan klamidia biasanya tidak memiliki tanda atau gejala, serta sebagian besar kasus diidentifikasi melalui skrining pada kunjungan perawatan pencegahan rutin.

“Oleh karena itu, kemungkinan klamidia secara tidak proporsional dipengaruhi oleh pengurangan skrining selama pandemi, yang mengakibatkan infeksi yang tidak terdiagnosis,” kata peneliti.

Sebagian besar kasus penyakit kelamin (STD) terjadi pada orang berusia 15 tahun hingga 24 tahun, dan tiga dari 10 insiden terjadi pada orang kulit hitam non-Hispanik, yang menurut para peneliti kemungkinan karena kurangnya akses ke pemeriksaan kesehatan.

“Sementara data pada 2020 menunjukkan bahwa penyakit menular seksual meningkat di antara banyak kelompok, beberapa kelompok ras dan etnis minoritas, pria gay dan biseksual dan pemuda bangsa kita terus menanggung beban epidemi,” ujar Direktur Divisi Pencegahan STD CDC, Leandro Mena.

Dia menjelaskan data ini menggambarkan faktor-faktor seperti kurangnya akses ke perawatan medis reguler, diskriminasi, dan stigma, terus menghalangi kualitas perawatan kesehatan seksual bagi semua orang yang membutuhkannya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement