Selasa 19 Apr 2022 04:28 WIB

Lili Pintauli dan Cermin Retak Citra KPK Masa Kini

Lili Pintauli kembali tersandung dugaan pelanggaran etik dan dilaporkan ke Dewas KPK.

Wakil Ketua KPK -  Lili Pintauli Siregar.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Wakil Ketua KPK - Lili Pintauli Siregar.

Oleh : Andri Saubani, Redaktur Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar kembali dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Kali ini, Lili dilaporkan terkait dugaan penerimaan fasilitas menonton MotoGP mulai 18 hingga 20 Maret 2022 pada Grandstand Premium Zone A-Red. Selain itu, Lili juga diyakini mendapatkan fasilitas menginap di Amber Lombok Resort pada 16 Maret sampai 22 Maret 2022.

Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris telah mengonfirmasi adanya pelaporan terhadap Lili itu. Dewas pun, kata Syamsuddin, segera memproses laporan terhadap Lili Pintauli. 

Sejak menjadi salah satu komisioner KPK pada 2019, ini bukan kali pertama Lili Pintauli berurusan dengan kasus dugaan pelanggaran etik. Lili oleh Dewas KPK sebelumnya sudah pernah disidang dan telah divonis bersalah melanggar kode etik dan perilaku pegawai KPK dengan melakukan kontak kepada mantan wali kota Tanjungbalai, M Syahrial yang saat itu tengah berperkara di KPK.

Dewas menilai Lili telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku berupa penyalahgunaan pengaruh pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi. Lili terbukti melanggar Pasal 4 Ayat (2) Huruf b dan a Peraturan Dewan Pengawas Nomor 02 Tahun 2020 tentang penegakan kode etik dan pedoman perilaku KPK. Ia pun disanksi berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.

Setelah itu, Lili dilaporkan ke Dewas KPK terkait dugaan pelanggaran etik berkenaan dengan penanganan perkara di Labuhanbatu Utara Labura, Sumatra Utara. Namun untuk perkara ini, Dewas KPK menyatakan tidak bisa menindaklanjuti laporan karena mengaku perkara tidak cukup bukti. 

Kasus dugaan pelanggaran etik yang berkali-kali menjerat Lili bak cerminan bagaimana wajah KPK saat ini. KPK pada era kepemimpinan Firli, alih-alih bergelimang prestasi memberantas korupsi tapi malah tercemar oleh perilaku tak etis hingga pidana para penggawanya, mulai dari level pimpinan sampai penyidik. 

Ketua KPK Firli Bahuri pun pernah tersandung kasus penyewaan helikopter mewah. Adapun di level penyidik, Dewas KPK pernah menyidang kasus pencurian barang bukti 2 kilogram emas oleh seorang penyidik berinisial IGAS. Dan jangan lupakan kasus penyidik Stepanus Robin Pattuju yang sudah divonis 11 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor yang menilainya terbukti bersalah menerima suap kala menyidik beberapa kasus di KPK. 

Untuk menegaskan premis bahwa citra KPK saat ini memburuk bisa mengacu pada survei beberapa lembaga terhadap kinerja lembaga tinggi negara. Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), pada 2020 saja setidaknya ada enam lembaga survei yang menilai kinjera KPK jeblok. 

Pada akhir 2021, Charta Politika mengungkap survei bahwa kinerja KPK dinilai menurun oleh publik. KPK bahkan disalip oleh Polri sebagai lembaga tinggi negara yang dipercaya oleh publik. 

Yang terbaru, berdasarkan hasil survei Litbang Kompas yang dirilis pada Maret 2022, mayoritas rakyat Indonesia atau sebesar 48,2 persen tidak puas dengan kinerja KPK. Dari yang tidak puas itu, citra pimpinan KPK yang buruk, kinerja Dewas, minimnya OTT, dan banyaknya kontroversi menjadi di antara penyebab publik menilai kinerja KPK saat ini buruk. 

Sebagian kalangan, khususnya masyarakat sipil yang bersinggungan dengan isu pemberatasan korupsi menilai, perubahan KPK yang bisa dibilang 180 derajat adalah imbas dari revisi UU KPK oleh DPR pada 2019. UU KPK hasil revisi kemudian klop dengan para calon komisioner pilihan panitia seleksi (dikritisi oleh masyarakat sipil) yang kemudian disaring oleh DPR.

Ragam dugaan pelanggaran etik oleh pimpinan jadi contoh bagaimana KPK saat ini sangat rapuh bahkan pada tataran etis. Sebagai jurnalis yang pernah beberapa lama ‘ngepos’ di KPK zaman dulu, saya mendengar dan sekali menyaksikan bagaimana para pimpinan dan pegawai KPK menjaga betul etika mereka ketika berbaur di masyarakat. 

Jangankan menerima gratifikasi semacam tiket MotoGP, dulu itu seorang pimpinan KPK bahkan tidak berani menyentuh makanan atau minuman ketika menghadiri acara apa pun mulai dari diskusi, resepsi pernikahan, sampai acara resmi kenegaraan. Seorang pejabat KPK yang diundang menghadiri pernikahan salah satu rekan wartawan, juga melakukan hal yang sama. Dan saat itu saya menyaksikan sekaligus bertanya mengapa dia melakukan itu dan dijawabnya, “Menjaga etika.”

Dewas KPK meski sudah berjanji akan memproses laporan terhadap Lili, dikhawatirkan putusannya akan ‘ringan’ seperti di kasus Tanjungbalai. Lembaga swadaya masyarakat seperti MAKI, ICW hingga para alumni pegawai KPK yang tak lulus tes wawasan kebangsaan meminta Dewas KPK kali ini serius dan menjatuhkan sanksi berat jika memang nantinya Lili terbukti bersalah. Imbauan agar Lili mundur dari KPK pun kini menggema dari banyak kalangan termasuk pakar hukum, demi menjaga marwah KPK dan Lili tak menjadi beban lembaga. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement