Senin 18 Apr 2022 07:37 WIB

Pengamat: Klitih Bisa Dipicu Tekanan yang Muncul Akibat Pandemi

Anak mengalami banyak persoalan baru sehingga perlu mendapatkan perhatian orang tua.

Rep: My33/ Red: Fernan Rahadi
Tersangka pelaku kejahatan jalanan atau klitih dihadirkan saat konferensi pers di Mapolda DIY, Yogyakarta, Senin (11/4/2022). Sebanyak lima tersangka berstatus pelajar dan mahasiswa diamankan dari kasus penganiyaan pelajar SMA hingga meninggal. Pelaku dijerat dengan Pasal 353 Ayat (3) Juncto Pasal 55 atau Pasal 351 Ayat (3) Juncto Pasal 55 KUHP dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara. Barang bukti celurit, pedang, serta hear sepeda motor turut dihadirkan dalam konferensi pers ini.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Tersangka pelaku kejahatan jalanan atau klitih dihadirkan saat konferensi pers di Mapolda DIY, Yogyakarta, Senin (11/4/2022). Sebanyak lima tersangka berstatus pelajar dan mahasiswa diamankan dari kasus penganiyaan pelajar SMA hingga meninggal. Pelaku dijerat dengan Pasal 353 Ayat (3) Juncto Pasal 55 atau Pasal 351 Ayat (3) Juncto Pasal 55 KUHP dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara. Barang bukti celurit, pedang, serta hear sepeda motor turut dihadirkan dalam konferensi pers ini.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga merupakan inisiator Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) DIY, Muhammad Nur Rizal, menyebut bahwa perubahan-perubahan serta tekanan yang muncul akibat pandemi bisa menjadi salah satu hal yang memicu aksi kejahatan jalanan (klitih) oleh para remaja.

"Manusia butuh aktualisasi diri. Tapi belakangan ini anak muda tidak punya ruang untuk berekspresi baik di sekolah, di keluarga, maupun di masyarakat sekitarnya," katanya kepada Republika, Ahad (17/4).

Menurutnya, banyak anak remaja harus menghadapi perubahan dinamika di dalam keluarga, sekolah, relasi pertemanan, serta lingkungan masyarakat. Dalam situasi yang demikian kompleks, anak sulit untuk memenuhi kebutuhannya akan ruang ekspresi diri.

Demikian juga ruang interaksi di lingkungan masyarakat.Anak banyak menghabiskan waktu di rumah, namun yang menjadi permasalahan banyak keluarga tidak memiliki relasi yang baik.

Hubungan keluarga dan orang tua yang memiliki riwayat masalah, dinamika interaksi remaja dengan kelompok, serta karakter individu menjadi salah satu hal yang mendasari perilaku klitih.

"Banyak orang tua mengalami efek pandemi dan terpuruk secara ekonomi sehingga mereka lupa untuk membangun kedekatan dan komunikasi yang intensif dengan anak," kata Rizal menambahkan.

Selain itu, permasalahan keluarga atau ketidakdekatan anak dengan orang tua memicu para remaja tersebut untuk mengisi waktu luang lebih banyak di luar rumah. Jika orang tua tidak bisa berfungsi memberikan contoh yang baik, melindungi keluarganya, dan lain sebagainya, maka anak dapat berpeluang terjerumus kepada tindak perilaku klitih.

Sementara itu, anak juga mengalami banyak persoalan baru sehingga perlu mendapat perhatian dan pendampingan dari orang tua. Hal ini membuat relasi antara anak dengan orang tua semakin jauh, dan banyak anak melarikan diri ke dunia teknologi.

"Ketika ruang interaksi dan partisipasi berkurang, anak lari ke dunia teknologi. Bagi sejumlah anak, ketika dia terpapar pada hal-hal negatif dia kemudian mencoba menerapkannya," katanya.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, menurutnya, membawa sejumlah perubahan pada perilaku kejahatan yang kini bisa dilakukan secara individual. Termasuk halnya pada aksi klitih yang sebelumnya lebih banyak dilakukan secara berkelompok. Saat ini aksi tersebut bisa dilakukan secara individual.

Sejumlah pendekatan yang dapat dilakukan untuk mencegah remaja terlibat dalam aktivitas negatif seperti klitih salah satunya dengan menciptakan lingkungan yang positif.

"Lingkungan positif harus dimaknai sebagai lingkungan yang memberi rasa aman bagi siswa untuk melakukan kegiatan sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, juga dimaknai dengan adanya peran masyarakat yang terkecil dalam membangun kegiatan yang partisipatif," paparnya.

Selain itu, sekolah dan keluarga perlu membangun penalaran dan kesadaran anak, memperbanyak ruang refleksi dalam proses belajar dan mendorong anak untuk mengenali potensi, keunikan, serta emosinya.

Guna mencegah terjadinya kejahatan klitih, semua pihak dituntut proaktif, terutama dalam melakukan pengawasan. Untuk itu, selain edukasi dan pendampingan di sekolah, orang tua sebagai keluarga terdekat juga memiliki peran cukup penting khususnya yang berkaitan dengan pengawasan aktivitas anak.

Anak menurutnya perlu lebih banyak terlibat dalam kegiatan belajar yang berbasis masalah, di mana anak didorong untuk melakukan aktivitas yang positif bagi masyarakat. "Anak tidak boleh teralienasi dari masyarakat. Belajar membangun rasa empati, dan sejak muda dia mengerti bahwa ilmu pengetahuan, keterampilan diri, dan kompetensi sosialnya bermanfaat bagi orang lain, dengan begitu anak tidak merasa sebagai useless generation (generasi tak berguna-Red)," kata Rizal.

Sebelumnya, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X berharap masyarakat 'mengadopsi' dengan turut saling membantu dalam menangani anak usia sekolah yang menjadi pelaku kejahatan jalanan. Salah satunya membantu agar anak pelaku kejahatan ini untuk tidak putus sekolah, termasuk anak yang terlibat dalam bentuk kenakalan remaja lainnya.

"Pengertian adopsi itu bukan dalam pengertian notaris (secara hukum), tapi masyarakat lain yang merasa mampu membantu masyarakat lain yang tidak mampu untuk membiayai anak sekolah dan sebagainya, seperti ada sponsor," kata Sultan di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Imbauan ini menyusul masih maraknya kejahatan jalanan yang melibatkan pelajar di DIY. Kasus terakhir yakni kejahatan jalanan yang menyebabkan tewasnya seorang pelajar di SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta bernama Daffa Adzin Albasith (18) awal April lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement